Laman

Senin, 15 Agustus 2011

Pengertian, Azas dan Sistem Pewarisan Menurut Hukum Adat

PENDAHULUAN
Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan dalam pembangunan hukum nasional yang enuju kearah unifikasi hukum yang terutama akan dilaksanakan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan.
Salah satu inti dari unsur-unsur hukum adat untuk pembinaan hukum waris nasional adalah hukum waris adat. Oleh karena itu hukum waris adat perlu diketengahkan dengan jalan melakukan penelitian kepustakaan yang ada maupun penelitian di lapangan untuk dapat mengetahui apakah dari sistem dan azas hukum waris adat yang terdapat di seluruh wawasan nusantara ini dapat dicari titik temu dan kesesuaiannya dengan kesadaran hukum nasional.
Apakah azas kesamaan hak yang akan dijadikan landasan ataukah azas kerukunan yang akan digunakan sebagai landasan dalam menentukan hukum waris adat di Indonesia.
Hukum waris bagi bangsa Indonesia tidak berarti waris setelah seseorang pewaris meninggal dunia, melainkan dapat terjadi pewarisan dalam arti penunjukan atau penerusan harta kekayaan pewaris sejak pewaris masih hidup. Demikian corak hukum waris adat bangsa Indonesia yang selama ini berlaku, berbeda dengan hukum waris islam atau hukum waris barat.
Penguraian hukum waris adat ini dimaksudkan untuk dapat memberikan gambaran bagaimana hukum waris adat di Indonesia yang tidak terlepas hubungannya dengan susunan masyarakatnya diberbagai daerah yang berbeda-beda.terutama memberikan uraian mengenai hukum adat yang menyangkut hukum waris itu sendiri serta tentang azas-azas dan sistem hukum waris adat pada umumnya di Indonesia.


PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Hukum Waris Adat
Secara umum, pengertian hukum waris yang didasarkan pada pasal 830 Kitab Undang-Undang hukum perdata dapat dirumuskan sebagai berikut:
Hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana, berhubung dengan meninggalnya seseorang, akhibat-akhibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu: akhibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri maupun dengan pihak ketiga.
Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris. Hukum waris adat sebenarnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya.
Adapun pendapat para ahli hukum adat tentang hukum waris adat adalah sebagai berikut:
Ter Haar menyatakan: Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi.”
Menurut Wirjono, pengertian warisan ialah bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Jadi menurut wirjono, istilah kewarisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu sebagai akhibat dari kematian seseorang. Sehingga waris dapat dilakukan setelah ada orang (pewaris) yang meninggal.
Pernyataan ini bertentangan dengan pendapat Soepomo yang menyatakan: “Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses ini telah mulai dalam waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi akuut oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut”
Dengan demikian hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta tersebut dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris maninggal dunia. Bentuk peralihannya dapat dengan cara penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada waris.

2. Sifat Hukum waris adat
Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan dari uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana di dalam hukum waris islam atau hukum waris barat.
Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik beberapa para waris, ia tidak boleh memiliki secara perorangan, tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati.

B. Azas Pewarisan Menurut Hukum Adat
Dalam hukum waris adat bangsa Indonesia bukan semata-mata terdapat azas kerukunan dan azas kesamaan hak dalam pewarisan, karena berpangkal tolak pada sila-sila pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. maka terdapat juga azas-azas hukum yang terdiri dari:
a. Azas Ketuhanan dan pengendalian diri
Dengan dasar hukum orang berpegang pada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa, karena iman dan taqwanya ia mengendalikan diri menahan nafsu kebendaan dan untuk dapat mengendalikan diri dalam masalah kewarisan, sehingga akan selalu menjaga kerukunan hidup antara para waris dan anggota keluarga dari pertentangan.
b. Azas Kesamaan Hak dan kebersamaan hak
Adanya sikap dalam hukum waris adat sesungguhnya bukan menentukan banyaknya bagian warisan yang harus diutamakan, tetapi kepentingan dan kebutuhan para waris yang dapat dibantu oleh adanya warisan itu. Sehingga pembagian tidak selalu sama hak dan sama banyak bagian pria dan wanita
c. Azas kerukunan dan kekeluargaan
Suatu azas yang dipertahankan untuk tetap memelihara hubungan kekeluargaan yang tentram dan damai dalam mengurus menikmati dan memanfaatkan warisan yang tidak terbagi-bagi ataupun dalam menyelesaikan masalah pembagian pemilikan harta warisan yang dibagi
d. Azas Musyawarah dan mufakat
Dalam mengatur atau menyelesaikan harta warisan setiap anggota waris mempunyai rasa tanggung jawab yang sama dan atau hak dan kewajiban yang sama berdasarkan musyawarah dan mufakat bersama
e. Azas Keadilan dan parimirma
Azas welas kasih terhadap para anggota keluarga pewaris, dikarenakan keadaan, kedudukan, jasa, karya dan sejarahnya. Sehingga walaupun bukan ahli waris namun wajar untuk juga diperhitungkan mendapat bagian harta warisan.

C. Sistem Pewarisan menurut Hukum Adat
Sistem yang digunakan untuk menentukan pewarisan adat di Indonesia bermacam-macam. Penerapan sistem tersebut berhubungan erat dengan adat yang ada di masing-masing daerah adat setempat, sehingga sistem adat masing-masing daerah tidak dapat disamakan antara satu daerah dengan daerah yang lain. Adapun beberapa sistem pewarisan adat yang terdapat di Indonesia antara lain adalah:
1. Sistem Keturunan
Dilhat dari segi garis keturunan maka perbedaan lingkungan hukum adat itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Sistem Patrilinial (kelompok garis kebapakan)
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan. Suku-suku yang bergaris keturunan kebapakan antara lain adalah Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa tenggara, Irian
b. Sistem Matrilinial (kelompok garis keibuan)
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan. Suku-suku yang bergaris keturunan ini adalah minangkabau, enggano.
c. Sistem Parental atau Bilateral (kelompok garis ibu-bapak)
Sistem yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan. Adapun suku yang bergaris keturunan ini adalah Jawa, Sunda, Madura, dan Melayu

2. Sistem Pewarisan Individual
Sistem pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian maka masing-masing waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan dan dinikmati.

3. Sistem Pewarisan Kolektif
Pengalihan kepemilikan harta peninggalan dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap waris berhak untuk mengusahakan menggunakan atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu. Sedangkan cara pemakaiannya diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh semua anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan dibawah bimbingan kepala kerabat.

4. Sistem Pewarisan Mayorat
Sistem pewarisan mayorat sesungguhnya adalah juga merupakan sistem kewarisan kolektif, hanya saja pengalihan harta yang tidak terbagi itu dilimpaahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga.
Sistem mayorat ini ada dua macam dikarenakan perbedaan sistem keturunan yang dianut. Pertama mayoret lelaki yaitu kepemimpinan yang dipegang oleh anak laki-laki tertua seperti berlaku dilingkungan masyarakat adat Lampung. Sedangkan mayorat perempuan yaitu anak tertua perempuan sebagai penunggu harta orang tua seperti berlaku dilingkungan masyarakat adat Semendo Sumatra Selatan.

5. Sistem Pewarisan Islam
Sistem hukum waris yang pelaksanaan dan penyelesaian harta warisan itu apabila pewaris wafat. Sistem ini tidak membedakan kedudukan pria ataupun wanita dalam mendapatkan warisan seperti halnya pada sistem parental dan juga menerapkan sistem individual dalam pembagian harta peninggalan.

6. Sistem Pewarisan Barat
Sistem pewarisan menurut hukum barat yang dimaksud disini adalah sebagaimana diatur dalam KUH Perdata (BW) yang menganut sistem individual, dimana harta warisan jika pewaris wafat harus selekas mungkin diadakan pembagian.
Sistem pewarisan islam dan pewarisan barat dicantumkan dalam makalah ini hanya sebagai tambahan atau pembanding dalam pembahasan sistem pewarisan adat yang ada di Indonesia. Karena sistem pewarisan islam dan barat juga berhubungan erat dengan sistem pewarisan adat di indonesia

KESIMPULAN
Dalam hukum waris adat di Indonesia itu mempunyai corak sendiri berbeda dengan hukum waris islam atau hukum waris barat. Peralihan harta kekayaan pada hukum waris adat tidak memandang pewaris sudah meninggal dunia atau masih hidup. Sehingga hukum waris adat dipandang sebagai peralihan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya tanpa memperhitungkan sudah meninggal atau masih hidupnya pewaris.

Azas-azas dalam hukum waris adat di Indonesia terdiri dari:
1. Azas Ketuhanan dan Pengendalian diri
2. Azas Kesamaan Hak dan kebersamaan Hak
3. Azas Kerukunan dan kekeluargaan
4. Azas Musyawarah dan mufakat
5. Azas Keadilan dan Parimirma

Sistem pewarisan dalam hukum waris adat di Indonesia antara lain:
1. Sistem Keturunan
2. Sistem Pewarisan Individual
3. Sistem Pewarisan Kolektif
4. Sistem Pewarisan Mayorat
5. Sistem Pewarisan Islam
6. Sistem Pewarisan Barat

DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Hasbullah, Pedoman Islam di Indonesia, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 1990
Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: PT. Citra aditya Bakti, 1990
Soekanto, Soejono, et.al., Hukum Adat Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1986
Sudarsono, Hukum Waris Dan Sistem Bilateral, Jakarta: PT. Melton Putra, 1991

1 komentar:

  1. salam...
    kalau sistem pewarisan waris barat dicantumkan hanya sebagai tambahan atau pembanding saja, berarti sistem pewarisan adat cuman ada 4 ya..?

    BalasHapus