Laman

Kamis, 23 September 2010

NIAT

Rasulullah menegaskan dalam sebuah hadits mutawatir sbb:
“Sesungguhnya segala perbuatan itu disertai niat, dan seseorang diganjar sesuai dengan niatnya”. (HR Bukhari Muslim)

Niat adalah kesadaran untuk mempersatukan kegiatan otak kiri dan kanan sehingga menghasilkan rasa sambung dalam sholat maupun ibadah yang lain.

Sekarang kata “niat” berubah pengertiannya menjadi “membaca niat”, misalnya aku berniat sholat, aku berniat wudhu dan lain-lain. Niat dengan perngetian ini tidak akan membawa dampak apa-apa terhadap perbuatan yang dilakukan. Seperti halnya ketika seseorang mengangkat karung berisi beras 50 kg, tidak mungkin ia hanya mengatakan “aku berniat mengangkat karung berisi beras 50 kg”. Ia akan mengangkat dengan serius. Bersamaan dengan itu, pikirannya berpadu dalam satu kemauan penuh. Berbeda dengan orang yang mengangkat dengan sekedarnya. Sikapnya tampak tidak ada semangat sehingga orangnya melihat pasti mengatakan “Gimana sih, ngangkat kok nggak niat”. Artinya teguran itu menunjukkan, bahwa niat merupakan pekerjaan yang penuh kesadaran antara pikiran, hati dan perbuatan. Jika ketiganya telah bekerja sama, maka terjadilah kekuatan yang menghasilkan sebuah tindakan yang baik.

Dalam islam, niat itu merupakan landasan yang paling penting dalam setiap perbuatan ibadah yang kita lakukan.
Sering kita mendengar kata “niat” untuk mengawali setiap perbuatan. Niat merupakan landasan moral dari sebuah perbuatan, karena niat akan menentukan nilai baik atau buruk dan diterima atau tidaknya suatu perbuatan. Niat merupakan dasar dan bentuk bagi sebuah perbuatan, dimana perbuatan itu sendiri adalah juga isi dari sebuah niat.
Sebagai dasar dan bentuk, ia baru dapat dipahami dengan jelas bila isinya diikutsertakan bersama. Keduanya saling mengisi dan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Paduan antara nilai etis dan perbuatan sebagai pelaksanaannya menghasilkan sesuatu yang disebut moral. Di dalam istilah fikih, niat diartikan qashdu syai muqtarinan bifi’lihi, merupakan suatu perbuatan dengan kesadaran penuh (consiousnes).

Hal yang selalu mengusik pemikiran seseorang dalam menentukan pengertian niat adalah, apakah niat itu hanya pada awal suat perbuatan, sebagai syarat sahnya perbuatan tersebut, atau berniat itu adalah melakukan perbuatan dengan penuh kesadaran sepanjang perbuatan itu berlangsung?.

Mari kita coba dan pelajari ilustrasi perbuatan berikut ini:
Ambil sebuah gelas, isi dengan air hingga penuh rata sampai bibir gelas tanpa tutup. Lalu berjalanlah dengan membawa gelas tersebut. Jagalah agar jangan sampai air tumpah sedikitpun.
Apakah yang terjadi!

Anda akan merasakan bagaimana tubuh anda bekerja bersamaan dengan kesadaran untuk terus menjaga agar air itu tidak tumpah, sehingga tubuh akan mengikuti gerak kesadaran kita. Anda akan memperhatikan dengan kesadaran (niat) agar objek itu tidak lepas dari pandangan anda. Secara otomatis, anda akan mengabaikan suasana yang hiruk pikuk, karena saat itu perhatian dan pikiran anda berada dalam satu kesatuan menjaga gelas tadi.

Itulah niat! Niat bukanlah sebuah bacaan atau mantra tetapi suatu perbuatan yang didalamnya terdapat kesadaran penuh yang mengalir.

Agama menyaratkan niat sebagai control nilai, apakah ia berada dalam kesadaran ihsan atau tidak, sehingga kadang kala Allah menegur kita saat beribadah: mengapa kita melakukannya dengan pikiran terpecah (riya’)!. Niat kita terkadang berubah pada waktu berlangsungnya ibadah kepada Allah. Misalnya pada saat kita melakukan shalat, ditengah kita bersujud ternyata pikiran kita tidak turut bersujud malah melayang jauh menuju angan-angan.

Niat menurut pengertian fiqh, yaitu menyengaja melakukan suatu perbuatan dengan penuh kesadaran. Maka aktifitas otak kiri (logika) dan otak kanan (holistic) berpadu menghasilkan kekuatan (daya) yang luar biasa.

“Niat bukanlah sebuah bacaan atau mantra terapi suatu perbuatan yang di dalamnya terdapat kesadaran penuh yang mengalir”.

Sabtu, 29 Mei 2010

Pengertian Lima Rukun Islam

Lima Rukun Islam (bahasa Arab: أركان الإسلام) adalah istilah yang diberikan kepada lima tugas kewajiban setiap muslim. These duties are Shahadah (profession of faith), Salat (prayers), Sawm (fasting), Zakat (giving of alms, specifically during Ramadan ) and Hajj (pilgrimage to Mecca , the place where the most famous Islamic temple is located). Ini tugas yang syahadat (pengakuan iman), Salat (doa), Sawm (puasa), zakat (pemberian sedekah, khusus selama bulan Ramadan ) dan haji (ziarah ke Mekah , tempat di mana kuil Islam yang paling terkenal terletak). These five practices are essential to Muslims. Kelima praktek sangat penting untuk umat Islam. For Shia Islam, the five pillars are more abstract and inward oriented: Tawhid (monotheism), Qiyamah (Day of judgment), Nubuwwah ( Prophets of Islam ), Imamah (Leadership of the Twelve Imams ), and Adl (Justice). Untuk Syiah Islam, lima pilar yang lebih abstrak dan batin berorientasi: Tauhid (monoteisme), Qiyamah (Hari penghakiman), nubuwwah ( Nabi Islam ), Imamah (Kepemimpinan dari Imam Dua Belas ), dan ADL (Keadilan).

syahadat
Main article: Shahada Artikel utama: Syahadat

Shahadah is a statement professing monotheism and accepting Muhammad as God's messenger. [ 1 ] The shahadah is a set statement normally recited in Arabic "'ašhadu 'al-lā ilāha illā-llāhu wa 'ash-ha-du 'anna mu-ham-ma-dan 'ab-du-hoo wa ra-soo-luh", translated as: "[I profess that] There is no other God (worthy of worship) except Allah, and Muhammad is His Messenger." Syahadat adalah pernyataan mengaku monoteisme dan menerima Muhammad sebagai Tuhan utusan. [1] syahadat adalah pernyataan ditetapkan biasanya dibaca di dalam al-La ilaha illā Arab "''-llāhu wa ašhadu 'abu-ha-du' anna mu-ham- Dan ma-ab '-du-hoo wa "ra-soo-Luh, diterjemahkan sebagai:" [Aku mengakui bahwa] Tidak ada Allah lain (patut disembah) kecuali Allah, dan Muhammad adalah Rasul-Nya. " "Allah" means "God" in Arabic. [ 2 ] But critics say that the statement "There is no other God except God" does not make sense and hence it must be the case that the word "Allah" is used to identify a particular God, different from say Christian God. "Allah" berarti "Allah" dalam bahasa Arab. [2] Tetapi para kritikus mengatakan bahwa pernyataan "Tidak ada Tuhan lain kecuali Allah" tidak masuk akal dan karena itu harus kasus bahwa kata "Allah" digunakan untuk mengidentifikasi Tuhan tertentu, yang berbeda dari Kristen mengatakan Allah. To be noted on the issue is the 2009-2010 controversy in Indonesia about the use of "Allah" by Christians to refer to their God which was contested by Muslims. Untuk diperhatikan pada masalah ini adalah kontroversi 2009-2010 di Indonesia tentang penggunaan "Allah" oleh orang Kristen untuk merujuk Allah mereka yang diperebutkan oleh umat Islam. This clearly demonstrates that Muslims consider that the God they worship "Allah", can not be used by Christians on theological basis. Hal ini jelas menunjukkan bahwa umat Islam menganggap bahwa Allah mereka menyembah "Allah", tidak dapat digunakan oleh orang Kristen secara teologis.

Salah is the daily prayer of Islam. Shalat adalah doa harian Islam. Salat consists of five prayers: Fajr, Duhr, Asr, Maghrib, and Isha. Salat terdiri dari lima doa: Fajar, Duhr, Ashar, Maghrib, dan Isya. Fajr is said at sunrise, Duhr is a noon prayer, Asr is said in the afternoon, Maghrib is the sunset prayer, and Isha is the evening prayer. Fajar dikatakan saat matahari terbit, Duhr adalah doa siang, Ashar yang dikatakan dalam sore hari, Maghrib adalah doa matahari terbenam, dan Isya adalah shalat malam. Each prayer consists of a certain amount of rakat . Setiap doa yang terdiri dari sejumlah rakat . A prayer either consists of two, three, or four rakat. Doa baik terdiri dari dua, tiga atau empat rakat. All of these prayers are recited while facing Mecca. Semua doa-doa dibacakan sambil menghadap Mekah.

Zakāt or alms -giving is the practice of charitable giving by Muslims based on accumulated wealth, and is obligatory for all who are able to do so. Zakat atau sedekah -memberi adalah praktek pemberian sumbangan oleh Muslim berdasarkan akumulasi kekayaan, dan wajib untuk semua yang mampu melakukannya. It is considered to be a personal responsibility for Muslims to ease economic hardship for others and eliminate inequality. [ 3 ] Zakat consists of spending 2.5% of one's wealth for the benefit of the poor or needy, including slaves, debtors and travellers. Hal ini dianggap menjadi tanggung jawab pribadi bagi Muslim untuk mempermudah kesulitan ekonomi untuk orang lain dan menghilangkan ketidakadilan. [3] Zakat terdiri dari pengeluaran 2,5% dari kekayaan satu untuk kepentingan masyarakat miskin atau yang membutuhkan, termasuk budak, debitur dan wisatawan. A Muslim may also donate more as an act of voluntary charity ( sadaqah ), rather than to achieve additional divine reward. [ 4 ] There are two main types of Zakah. Seorang Muslim juga dapat menyumbang lebih sebagai tindakan amal sukarela ( sedekah ), bukan untuk mencapai pahala ilahi tambahan. [4] Ada dua jenis utama zakat. First, there is the kajj, which is a fixed amount based on the cost of food that is paid during the month of Ramadan by the head of a family for himself and his dependents. Pertama, ada kajj, yang merupakan jumlah yang tetap berdasarkan biaya makanan yang dibayar selama bulan Ramadhan oleh kepala keluarga untuk dirinya dan tanggungannya. Second, there is the Zakat on wealth, which covers money made in business, savings, income, and so on. [ 5 ] In current usage Zakat is treated as a 2.5% collections on most valuables and savings held for a full lunar year, as long as the total value is more than a basic minimum known as nisab (three ounces or 87.48g of gold). Kedua, ada zakat pada kekayaan, yang meliputi uang dibuat dalam bisnis,, pendapatan tabungan, dan sebagainya. [5] Pada saat ini penggunaan zakat diperlakukan sebagai koleksi 2,5% pada sebagian besar barang-barang berharga dan tabungan yang dimiliki untuk penuh lunar tahun, asalkan total nilai lebih dari yang dikenal sebagai dasar minimum nisab (tiga ons atau 87.48g emas). As of 20 September 2008, nisab is approximately $ 2,640 or an equivalent amount in any other currency. [ 6 ] Many Shi'ites are expected to pay an additional amount in the form of a khums tax, which they consider to be a separate ritual practice. [ 7 ] There are four principles that should be followed when giving the Zakah: Pada 20 September 2008, nisab adalah sekitar $ 2.640 atau jumlah yang setara dalam mata uang lainnya. [6] Banyak Syi'ah diharapkan untuk membayar jumlah tambahan dalam bentuk khums pajak, yang mereka anggap menjadi ritual terpisah praktek. [7] Ada empat prinsip yang harus diikuti ketika memberikan Zakat:

1. The giver must declare to Allah his intention to give the Zakah. pemberi harus menyatakan kepada Allah niatnya untuk memberikan zakat.
2. The Zakah must be paid on the day that it is due. The Zakat harus dibayar pada hari itu jatuh tempo. If one fails to pay the Zakat, people think he is refusing to fulfill God's wishes. Jika seseorang gagal untuk membayar zakat, orang pikir dia menolak untuk memenuhi keinginan Allah.
3. Payment must be in kind. Pembayaran harus dalam bentuk. This means if one has a lot of money then he needs to pay 2.5% of his income. Ini berarti jika seseorang memiliki banyak uang maka ia harus membayar 2,5% dari pendapatannya. If he does not have much money, he needs to pay in a different way such as good deeds and good behavior toward others. Jika ia tidak punya uang banyak, ia harus membayar dengan cara yang berbeda seperti perbuatan baik dan perilaku yang baik terhadap orang lain.
4. The Zakah must be distributed in the community from which it was taken. [ 8 ] The Zakat harus didistribusikan dalam komunitas dari mana ia diambil. [8]

Many Muslims traditionally break their fasts in Ramadan with dates (like those offered by this date seller in Kuwait City ), as was the recorded practice ( Sunnah ) of Muhammad. Banyak umat Islam tradisional istirahat puasa mereka di bulan Ramadan dengan tanggal (seperti yang ditawarkan oleh penjual ini tanggal di Kuwait City ), seperti praktek dicatat ( Sunnah ) Muhammad.

Three types of fasting ( Sawm ) are recognized by the Qur'an: Ritual fasting, [ 2:183–187 ] fasting as compensation for repentance, [ 2:196 ] and ascetic fasting. [ 33:35 ] [ 9 ] Tiga jenis puasa ( Sawm ) diakui oleh Al-Qur'an: Ritual puasa, [ 2:183-187 ] puasa sebagai kompensasi untuk pertobatan, [ 2:196 ] dan puasa pertapa. [ 33:35 ] [9]

Ritual fasting is an obligatory act during the month of Ramadan . [ 10 ] Muslims must abstain from food, drink, and sexual intercourse from dawn to dusk during this month, and are to be especially mindful of other sins. [ 10 ] Ritual puasa adalah tindakan wajib selama bulan Ramadan . [10] Muslim harus menjauhkan diri dari makanan, minuman, dan hubungan seksual dari fajar sampai petang selama bulan ini, dan harus sangat berhati-hati dari dosa-dosa lain. [10]

The fast is meant to allow Muslims to seek nearness to Allah, to express their gratitude to and dependence on him, atone for their past sins, and to remind them of the needy. [ 11 ] During Ramadan, Muslims are also expected to put more effort into following the teachings of Islam by refraining from violence, anger, envy, greed, lust, profane language, gossip and to try to get along with fellow Muslims better. cepat ini dimaksudkan untuk memungkinkan umat Islam untuk mencari kedekatan kepada Allah, untuk mengungkapkan rasa terima kasih mereka dan ketergantungan pada dirinya, menebus dosa-dosa masa lalu mereka, dan untuk mengingatkan mereka yang membutuhkan. [11] Selama Ramadhan, umat Islam juga diharapkan untuk memasukkan lebih usaha dalam mengikuti ajaran Islam dengan menahan diri dari kekerasan, kemarahan, iri hati, keserakahan, nafsu, bahasa profan, gosip dan mencoba untuk bergaul dengan sesama muslim yang lebih baik. In addition, all obscene and irreligious sights and sounds are to be avoided. [ 12 ] Selain itu, semua tidak senonoh dan tak beragama pemandangan dan suara yang harus dihindari. [12]

Fasting during Ramadan is obligatory, but is forbidden for several groups for whom it would be very dangerous and excessively problematic. Puasa selama bulan Ramadhan adalah wajib, tetapi dilarang untuk beberapa kelompok yang akan sangat berbahaya dan terlalu bermasalah. These include pre-pubescent children, those with a medical condition such as diabetes , elderly people , and pregnant or breastfeeding women. Ini termasuk anak-anak pra dibawah umur, orang-orang dengan kondisi medis seperti diabetes , orang tua , dan hamil atau menyusui perempuan. Observing fasts is not permitted for menstruating women. Mengamati puasa tidak diijinkan untuk menstruasi perempuan. Other individuals for whom it is considered acceptable not to fast are those who are ill or traveling. orang lain untuk siapa dianggap tidak diterima untuk berpuasa adalah mereka yang sakit atau bepergian. Missing fasts usually must be made up for soon afterward, although the exact requirements vary according to circumstance. [ 13 ] [ 14 ] [ 15 ] [ 16 ] Hilang puasa biasanya harus dibuat untuk segera sesudahnya, meskipun persyaratan yang tepat bervariasi sesuai dengan keadaan. [13] [14] [15] [16]

The hajj to the Kaaba, in Mecca, is an important practice in Islam. Haji ke Ka'bah, di Mekah, merupakan praktek penting dalam Islam.

The Hajj is a pilgrimage that occurs during the Islamic month of Dhu al-Hijjah to the holy city of Mecca, and derives from an ancient Arab practice. Ibadah haji adalah ziarah yang terjadi selama bulan Islam dari Dzulhijjah ke kota suci Mekkah, dan berasal dari praktek Arab kuno. Every able-bodied Muslim is obliged to make the pilgrimage to Mecca at least once in their lifetime if he or she can afford it. [ 17 ] When the pilgrim is around 10 kilometers (6.2 miles) from Mecca, he must dress in Ihram clothing , which consists of two white sheets. Setiap berbadan sehat muslim diwajibkan untuk melakukan haji ke Mekah paling tidak sekali dalam seumur hidup mereka jika dia mampu. [17] Ketika haji adalah sekitar 10 km (6.2 mil) dari Mekah, ia harus mengenakan pakaian ihram , yang terdiri dari dua lembar putih. Both men and women are required to make the pilgrimage to Mecca. Kedua laki-laki dan perempuan diwajibkan untuk membuat haji ke Mekah. After a Muslim makes the trip to Mecca, he/she is known as a hajj/hajja (one who made the pilgrimage to Mecca). [ 18 ] The main rituals of the Hajj include walking seven times around the Kaaba , touching the Black Stone , travelling seven times between Mount Safa and Mount Marwah , and symbolically stoning the Devil in Mina . [ 18 ] Setelah seorang Muslim membuat perjalanan ke Mekah, dia dikenal sebagai seorang haji / Hajja (orang yang membuat ziarah ke Mekah). [18] Ritual Haji utama termasuk berjalan tujuh kali mengelilingi Ka'bah , menyentuh Hajar Aswad , perjalanan tujuh kali antara Gunung Safa dan Marwah Gunung , dan secara simbolis rajam setan di Mina . [18]

The pilgrim , or the haji , is honoured in their community. Para peziarah , atau haji, dihormati di komunitas mereka. For some, this is an incentive to perform the Hajj. Bagi beberapa orang, ini adalah insentif untuk melakukan ibadah haji. Islamic teachers say that the Hajj should be an expression of devotion to Allah, not a means to gain social standing. guru Islam mengatakan bahwa ibadah haji harus menjadi ekspresi pengabdian kepada Allah, bukan berarti untuk mendapatkan status sosial. The believer should be self-aware and examine their intentions in performing the pilgrimage. Orang percaya harus sadar diri dan memeriksa niat mereka dalam melaksanakan ibadah haji. This should lead to constant striving for self-improvement. [ 19 ] A pilgrimage made at any time other than the Hajj season is called an Umrah , and while not mandatory is strongly encouraged. Hal ini harus mengarah untuk berusaha terus menerus untuk perbaikan diri. [19] Sebuah ziarah yang dibuat pada waktu lainnya dari pada musim haji disebut umrah , dan sementara tidak wajib sangat didorong.

In Shia Islam, the five pillars are more abstract and inward oriented, which are: Dalam Islam Syiah, lima pilar yang lebih abstrak dan berorientasi ke dalam, yaitu:

Tawhid (monotheism) Tauhid (monoteisme)

Qiyamah (Day of judgment) Qiyamah (Hari penghakiman)

Nubuwwah (Prophecy [Prophet of Islam, Jesus, Jewish Prophets, and other prophets]) Nubuwwah (Nubuatan [Nabi Islam, Yesus, Nabi-nabi Yahudi, dan nabi lainnya])

Imamah (Leadership of the Twelve Imams ) Imamah (Kepemimpinan dari Dua Belas Imam )

Adl (Justice). Adl (Keadilan).

Outward profession of religion, although significant and crucial, do not count as pillars of faith in Shia Islam. profesi Outward agama, meskipun yang signifikan dan penting, tidak dihitung sebagai pilar iman dalam Islam Syiah. A believer in the mentioned five pillars of Islam would believe in God, reward and punishment in the afterlife, the teachings of the Prophet of Islam and the prophets before him, in the leadership of the Twelve Imams, and in being just in thought, word, and action, which would entail adherence to outward profession of religiosity as defined in the Sunni five pillars of Islam. Seorang mukmin dalam lima pilar yang disebutkan Islam akan percaya pada Tuhan, pahala dan hukuman di akhirat, ajaran-ajaran Nabi Islam dan para nabi sebelum dia, dalam kepemimpinan para Imam Dua Belas, dan yang hanya dalam pikiran, ucapan , dan tindakan, yang akan memerlukan kepatuhan terhadap profesi luar religiusitas sebagaimana didefinisikan dalam lima rukun Islam Sunni. However, in the case of contradiction of practice and belief, a believer must not think that the action of Praying (salah) is the ultimate determinant, rather he must reflect on which action is closer to Justice, for instance, which may in fact entail missing prayer for a grander cause! Namun, dalam kasus kontradiksi praktik dan kepercayaan, percaya tidak boleh berpikir bahwa tindakan Berdoa (Salah) adalah penentu utama, bukan dia yang harus mencerminkan tindakan lebih dekat untuk Keadilan, misalnya, yang mungkin sebenarnya memerlukan hilang doa untuk penyebab megah!
The Five Pillars in the Hadithh Lima Rukun di Hadithh

قال المصنف -رحمه الله تعالى-: وعن أبي عبد الرحمن عبد الله بن عمر بن الخطاب -رضي الله عنهما-، قال: سمعت رسول الله -صلى الله عليه وسلم- يقول: بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، وحج البيت، وصوم رمضان رواه البخاري ومسلم. [ 20 ] قال المصنف - رحمه الله تعالى -: وعن أبي عبد الرحمن عبد الله بن عمر بن الخطاب - رضي الله عنهما -, قال: سمعت رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يقول: بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله, وإقام الصلاة, وإيتاء الزكاة, وحج البيت, وصوم رمضان رواه البخاري ومسلم. [20]

Transliteration: 'An abi Abdi AlRahmani Abdi Allahi ibni Omara Bini AlKhattabi Radiya Allahu 'anhumaa qala: Sami'ta rasula Allahi sala Allahu 'alayhi wa salama yaqool: Buniya al-Islamu 'ala khams: shahadati an la illaha illa Allahu wa ana Muhammadan rasulu Allah, wa iqami alsalah, wa itayi' alzakati wa haji albayt, wa sawmi Ramadan. Transliterasi: "anhumaa Sebuah Abdi abi AlRahmani Abdi Allahi Ibni Omara Bini AlKhattabi Radiya Allahu 'Qala: Sami'ta rasula sala Allahi Allahu' Umar Salama wa yaqool: Buniya ala al-Islamu 'khams: shahadati sebuah la illaha illa Allahu wa ana Muhammad rasulu alzakati Allah, wa iqami alsalah, wa itayi 'wa haji albayt, wa sawmi Ramadhan. Rawahu AlBukhari wa Muslim. Rawahu AlBukhari wa Muslim.

On the authority of Abu 'Abd al-Rahman 'Abdullah bin 'Umar bin al-Khattab, radiyallahu 'anhuma, who said: I heard the Messenger of Allah, sallallahu 'alayhi wasallam, say: "Islam has been built upon five things - on testifying that there is no other god but Allah, and that Muhammad is His Messenger; on performing salah; on giving the zakah; on Hajj to the House; and on fasting during Ramadhan." [ 21 ] [Al-Bukhari & Muslim] Pada otoritas Abd al-Rahman 'Abdullah bin Abu' Umar bin al-Khattab, radiyallahu anhuma, yang mengatakan: Aku mendengar Rasulullah, Umar wasallam sallallahu ', berkata: "Islam telah dibangun di atas lima hal - pada bersaksi bahwa tidak ada tuhan lain selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya; pada melakukan Shalat; untuk memberikan zakat itu; pada haji ke Gedung; dan puasa selama bulan Ramadhan. " [21] [Al-Bukhari & Muslim]
Lihat pula

* The five Shi'a Roots of Religion Lima Syi'ah Akar Agama
* Six articles of belief Enam artikel kepercayaan
* Shi'a Ismaili Seven Pillars of Islam Syi'ah Ismailiyah Tujuh Rukun Islam
* Druze Seven Pillars of Islam Druze Tujuh Rukun Islam
* Modern Islamic philosophy Modern Islam filsafat
* Allah Allah
* Ilah Ilah
* Names of God Nama Allah
* Names of God in the Qur'an Nama Allah di dalam Al Qur'an
* Tawhid Tauhid
* Termagant Kurang ajar
* Islam Islam
* Qaaba Qaaba
* Muhammad Muhammad
* Prophets of Islam Nabi Islam
* Abraham Abraham

Referensi

1. ^ From the article on the Pillars of Islam in Oxford Islamic Studies Online ^ Dari artikel di Rukun Islam Studi Islam di Oxford Online
2. ^ http://www.religion-cults.com/Islam/islam.htm ^ http://www.religion-cults.com/Islam/islam.htm
3. ^ Ridgeon (2003), p.258 ^ Ridgeon (2003), p.258
4. ^ Zakat, Encyclopaedia of Islam Online ^ zakat, Encyclopaedia of Islam Online
5. ^ Brockopp (2000), p.140; Levy (1957) p.150; Jonsson (2006), p.244 ^ Brockopp (2000), p.140; Levy (1957 p.150); Jonsson (2006), p.244
6. ^ "Zakat Calculator" . ^ Zakat Kalkulator "" . 2006-10-16 . http://www.ramadhanzone.com/zakat_calculator.asp . 2006/10/16. http://www.ramadhanzone.com/zakat_calculator.asp . Retrieved 2006-11-25 . Diperoleh 2006/11/25.
7. ^ Momen (1987), p.179 ^ Momen (1987), p.179
8. ^ [1] Zakah Alms-giving ^ [1] Zakat Sedekah memberi
9. ^ Fasting, Encyclopedia of the Qur'an (2005) ^ Puasa, Ensiklopedi Al-Qur'an (2005)
10. ^ a b Farah (1994), p.144-145 ^ a b Farah (1994), halaman 144-145
11. ^ Esposito (1998), p.90,91 ^ Esposito (1998), p.90, 91
12. ^ Tabatabaei (2002), p. ^ Thabathaba'i (2002), hal 211,213 211.213
13. ^ "For whom fasting is mandatory" . ^ "Untuk siapa puasa adalah" wajib . USC-MSA Compendium of Muslim Texts . http://www.usc.edu/dept/MSA/fundamentals/pillars/fasting/tajuddin/fast_21.html#HEADING20 . USC-MSA Compendium of Muslim Texts. http://www.usc.edu/dept/MSA/fundamentals/pillars/fasting/tajuddin/fast_21.html # HEADING20 . Retrieved 2007-04-18 . Diperoleh 2007/04/18.
14. ^ Qur'an 2:184 ^ Qur'an 2:184
15. ^ Khan (2006), p. ^ Khan (2006), hal 54 54
16. ^ Islam, The New Encyclopedia Britannica (2005) ^ Islam, The New Encyclopedia Britannica (2005)
17. ^ Farah (1994), p.145-147 ^ Farah (1994), p.145-147
18. ^ a b Hoiberg (2000), p.237–238 ^ a b Hoiberg (2000), p.237-238
19. ^ Goldschmidt (2005), p.48 ^ Goldschmidt (2005), p.48
20. ^ http://www.taimiah.org/Display.asp?ID=5&t=book17&pid=1&f=nawa-0003.htm#عنوان24355 ^ http://www.taimiah.org/Display.asp?ID=5&t=book17&pid=1&f=nawa-0003.htm # عنوان 24.355
21. ^ http://fortyhadith.iiu.edu.my/hadith03.htm ^ http://fortyhadith.iiu.edu.my/hadith03.htm

Buku dan jurnal

* Brockopp, Jonathan; Tamara Sonn, Jacob Neusner (2000). Judaism and Islam in Practice: A Sourcebook . Brockopp, Jonathan; Sonn Tamara, Yakub Neusner (2000) dan. Yudaisme Islam dalam Praktek: A Sourcebook. Routledge. ISBN 0415216737 . Routledge. ISBN 0415216737 .
* Esposito, John (1998). Islam: The Straight Path (3rd ed.). Esposito, John (1998):. Islam Jalan Lurus (3 red.). Oxford University Press. ISBN 978-0195112344 . Oxford University Press. ISBN 978-0195112344 .
* Farah, Caesar (1994). Islam: Beliefs and Observances (5th ed.). Farah, Caesar (1994). Islam: Keyakinan dan peringatan (5 ed.). Barron's Educational Series. ISBN 978-0812018530 . Barron's Educational Series. ISBN 978-0812018530 .
* Goldschmidt, Jr., Arthur; Lawrence Davidson (2005). A Concise History of the Middle East (8th ed.). Goldschmidt, Jr, Arthur; Lawrence Davidson (2005). Sebuah Sejarah Singkat dari Timur Tengah (8 ed.). Westview Press. ISBN 978-0813342757 . Westview Press. ISBN 978-0813342757 .
* Hedayetullah, Muhammad (2006). Dynamics of Islam: An Exposition . Hedayetullah, Muhammad (2006):. Dinamika Islam An Exposition. Trafford Publishing. ISBN 978-1553698425 . Trafford Publishing. ISBN 978-1553698425 .
* Hoiberg, Dale ; Indu Ramchandani (2000). Students' Britannica India . Hoiberg, Dale ; Ramchandani Indu (2000). Britannica India Siswa. Encyclopaedia Britannica (UK) Ltd. ISBN 978-0852297605 . Encyclopaedia Britannica (UK) Ltd ISBN 978-0852297605 .
* Jonsson, David J. (2006). Islamic Economics And the Final Jihad . Jonsson, David J. (2006) Ekonomi Islam. Dan Jihad Final. Xulon Press. ISBN 1597819808 . Xulon Press. ISBN 1597819808 .
* Khan, Arshad (2006). Islam 101: Principles and Practice . Khan, Arshad (2006) Praktik. Islam 101: Prinsip dan. Khan Consulting and Publishing, LLC. ISBN 0977283836 . Khan Konsultasi dan Publishing, LLC. ISBN 0977283836 .
* Kobeisy, Ahmed Nezar (2004). Counseling American Muslims: Understanding the Faith and Helping the People . Kobeisy, Ahmed Nezar (2004). Konseling Muslim Amerika: Memahami Iman dan Membantu Rakyat. Praeger Publishers. ISBN 978-0313324727 . Praeger Publishers. ISBN 978-0313324727 .
* Momen, Moojan (1987). An Introduction to Shi`i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi`ism . Momen, Moojan (1987):. An Introduction to Shi `i Islam Sejarah dan Doktrin-doktrin dari Imamiyah Shi` ism. Yale University Press. ISBN 978-0300035315 . Yale University Press. ISBN 978-0300035315 .
* Levy, Reuben (1957). The Social Structure of Islam . Levy, Ruben (1957). Struktur Sosial Islam. UK: Cambridge University Press. ISBN 978-0521091824 . UK: Cambridge University Press. ISBN 978-0521091824 .
* Ridgeon, Lloyd (2003). Major World Religions (1st ed.). Ridgeon, Lloyd (2003) Mayor Dunia ed. Agama (1.). RoutledgeCurzon. ISBN 978-0415297967 . RoutledgeCurzon. ISBN 978-0415297967 .
* Tabatabae, Sayyid Mohammad Hosayn ; R. Campbell (translator) (2002). Islamic teachings: An Overview and a Glance at the Life of the Holy Prophet of Islam . Tabatabae, Sayyid Mohammad Hosayn ; R. Campbell (translator) (2002): Islam. ajaran Suatu Tinjauan dan Sekilas di Kehidupan Nabi Suci Islam. Green Gold. ISBN 0-922817-00-6 . Green Gold. ISBN 0-922817-00-6 .

Ensiklopedia

* Encyclopaedia Britannica Online . Encyclopaedia Britannica Online . Encyclopaedia Britannica. Encyclopaedia Britannica. 2007. ISBN 978-1593392932 . 2007. ISBN 978-1593392932 .
* Erwin Fahlbusch, William Geoffrey Bromiley, ed (2001). Encyclopedia of Christianity (1st ed.). Erwin Fahlbusch, William Bromiley Geoffrey, ed (2001) ed. Encyclopedia Kekristenan (1.). Eerdmans Publishing Company, and Brill. ISBN 0-8028-2414-5 . Eerdmans Publishing Company, dan Brill. ISBN 0-8028-2414-5 .
* PJ Bearman, Th. PJ Bearman, Th. Bianquis, CE Bosworth, E. van Donzel, WP Heinrichs, ed. Encyclopaedia of Islam Online . Bianquis, CE Bosworth, E. van Donzel, Heinrichs WP, ed. Encyclopaedia of Islam Online. Brill Academic Publishers. Brill Academic Publishers. ISSN 1573-3912. ISSN 1573-3912.
* Salamone Frank, ed (2004). Encyclopedia of Religious Rites, Rituals, and Festivals (1st ed.). Salamone Frank, ed (2004). Encyclopedia of Rites Agama, Ritual, dan Festivals (1st ed.). Routledge. ISBN 978-0415941808 . Routledge. ISBN 978-0415941808 .
* The New Encyclopedia Britannica . Encyclopedia Britannica Baru. Encyclopedia Britannica, Incorporated; Rev Ed edition. Encyclopedia Britannica, Incorporated; Rev Ed edisi. 2005. ISBN 978-1593392369 . 2005. ISBN 978-1593392369 .

Waktu Sholat

Pengertian Sholat Dan Waktunya

Shalat menurut bahasa (lughat) berasal dari kata shala, yashilu, shalatan, yang mempuyai arti do’a.Sedangkan menurut istilah shalat berarti suatu ibadah yang mengandung ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan di akhiri dengan salam, dengan syarat-syarat tertentu. Jika dalam suatu dalil terdapat anjuran untuk mengerjakan shalat, maka secara lahirnya kembali kepada shalat dan pengertian syari’at. Karena shalat merupakan suatu kewajiban sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam Islam shalat mempunyai tempat yang khusus dan fundamental, karena shalat merupakan salah satu rukun Islam, yang harus ditegakkan.

Dasar Sholat Dan Waktunya

Secara syar’i, shalat yang diwajibkan (shalat maktubah) itu mempunyai waktu-waktu yang telah ditentukan (sehingga terdefinisi sebagai ibadah muwaqqat). Walaupun tidak dijelaskan secara gamblang waktu-waktunya, namun secara isyari al-Qur’an telah menentukannya. Sedangkan penjelasan waktu-waktu shalat yang terperinci diterangkan dalam hadits-hadits Nabi. Dari hadits-hadits waktu shalat itulah, para ulama’ fiqh memberikan batasan-batasan waktu shalat dengan berbagai cara atau metode yang mereka asumsikan untuk menentukan waktu-waktu shalat tersebut. Ada sebagian mereka yang mengasumsikan bahwa cara menentukan waktu shalat adalah dengan menggunakan cara melihat langsung pada tanda-tanda alam sebagaimana secara tekstual dalam hadits-hadits Nabi tersebut, seperti menggunakan alat bantu tongkat istiwa’ atau miqyas atau hemispherium . Inilah metode atau cara yang digunakan oleh “madzhab” rukyah dalam persoalan penentuan waktu-waktu shalat. Sehingga waktu-waktu shalat yang ditentukan disebut dengan al-Auqat al-Mar’iyyah atau al-Waqtu al-Mar’y. Sedangkan sebagian yang lain mempunyai pemahaman secara kontekstual, sesuai dengan maksud dari nash-nash tersebut, dimana awal dan akhir waktu shalat ditentukan oleh posisi matahari dilihat dari suatu tempat di bumi, sehingga metode atau cara yang dipakai adalah hisab (menghitung waktu shalat). Dimana hakikat hisab waktu shalat adalah menghitung kapan matahari akan menempati posisi-posisi seperti tersebut dalam nash-nash waktu shalat itu. Sehingga pemahaman inilah yang dipakai oleh “madzhab” hisab dalam persoalan penentuan waktu shalat. Dan waktu shalatnya oleh para ulama’ fiqh disebut waktu Riyadhy. Dengan cara hisab inilah, nantinya lahir jadwal waktu shalat abadi atau jadwal shalat sepanjang masa. Dua “madzhab” tersebut pada dasarnya berlaku di masyarakat, ini dapat dilihat dari adanya tongkat istiwa’ (istilah Jawa: bencet) di setiap (depan) masjid yang digunakan untuk menentukan waktu saat menjelang shalat. Adanya tongkat istiwa’ ini memberikan simbol bahwa “madzhab” rukyah juga memang masih ada (berlaku) di masyarakat. Walaupun di dalam masjid tersebut juga terdapat jadwal waktu shalat abadi yang biasa dipakai sebagai pedoman di saat cuaca tidak mendukung (mendung) yang memberikan simbol adanya “madzhab” hisab.Namun dikotomi “madzhab” hisab dan “madzhab” rukyah dalam persoalan penentuan waktu shalat, tidak nampak adanya suatu persoalan atau “greget besar”, atau bahkan sekat pemisah “madzhab-madzhab” tersebut nampak tidak muncul (tidak ada). Karena menurut hemat penulis, dalam persoalan penentuan waktu shalat ini oleh masyarakat, kedua “madzhab” tersebut sudah diakui validitas dan keakuratan hasilnya. Ini dapat dilihat adanya jadwal waktu shalat yang tercantum pada setiap masjid walaupun di depan masjid juga di pasang bencet atau tongkat istiwa’. Kiranya ini maklum adanya, karena hasil hisab sudah terbukti keakuratan dan validitasnya (sesuai dengan hasil rukyah). Sehingga dalam hal ini, baik bagi “madzhab” hisab maupun “madzhab” rukyah berlaku adanya simbiosis mutualism, dimana apa yang dilakukan oleh “madzhab” rukyah bisa dipakai sebagai pembuktian empirik dari hasil “madzhab” hisab, begitu pula sebaliknya. Dari uraian dasar tersebut dapat diperinci ketentuan waktu-waktu Shalat sebagai berikut:

1. Waktu Dzuhur Waktu Dzuhur di mulai sejak matahari tergelincir, yaitu sesaat setelah matahari mencapai titik kulminasi dalam peredaran hariannya, sampai tibanya waktu Ashar. Dalam hadits tersebut dikatakan bahwa nabi shalat dzuhur saat matahari tergelincir dan disebutkan pula ketika bayang-bayang sama panjang dengan dirinya. Ini tidaklah bertentangan, sebab untuk Saudi Arabia yang berlintang sekitar 20° - 30° utara pada saat matahari tergelincir panjang bayang-bayang dapat mencapai panjang bendanya bahkan lebih. Keadaan ini dapat terjadi ketika matahari sedang berposisi jauh di selatan yaitu sekitar bulan Juni dan Desember.

2. Waktu Ashar Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa Nabi melakukan shalat Ashar pada saat panjang bayang-bayang sepanjang dirinya. Dan juga disebutkan saat panjang bayang-bayang dua kali panjang dirinya. Ini dikompromikan bahwa Nabi melakukan shalat Ashar pada saat panjang bayang-bayang sepanjang dirinya, ini terjadi ketika saat matahari kulminasi setiap benda tidak mempunyai bayang-bayang. Nabi melakukan shalat Ashar pada saat panjang bayang-bayang dua kali panjang dirinya, ini terjadi ketika matahari kulminasi panjang bayang-bayang sama dengan dirinya. Dari uraian di atas disimpulkan bahwa waktu Ashar di mulai saat panjang bayang-bayang suatu benda sama dengan panjang bayang-bayang pada saat matahari berkulminasi sampai tiba waktu Maghrib.

3. Waktu Maghrib Waktu Maghrib di mulai sejak matahari terbenam sampai tibanya waktu Isya’.

4. Waktu Isya' Waktu Isya’ di mulai sejak hilang mega merah sampai separuh malam, ada juga yang mengatakan sepertiga , dan menyatakan bahwa akhir shalat Isya’ adalah terbitnya fajar.

5. Waktu Shubuh Waktu Shubuh di mulai sejak terbit fajar sampai terbitnya matahari.

Arah Kiblat
Pengertian Kiblat

Kiblat berasal dari bahasa arab yaitu arah yang merujuk ke suatu tempat di mana bangunan Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi. Ka’bah juga sering disebut dengan Baitullah. Menghadap arah Kiblat merupakan suatu masalah yang penting dalam syariat Islam. Menurut hukum syariat, menghadap ke arah kiblat diartikan sebagai seluruh tubuh atau badan seseorang menghadap ke arah Ka'bah yang terletak di Makkah yang merupakan pusat tumpuan umat Islam bagi menyempurnakan ibadah-ibadah tertentu. Pada awalnya, kiblat mengarah ke Baitul Maqdis atau Masjidil Aqsa Jerusalem di Palestina, namun pada tahun 624 M ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, arah Kiblat berpindah ke arah Ka’bah di Makkah hingga kini atas petunjuk wahyu dari Allah SWT. Beberapa ulama berpendapat bahwa turunnya wahyu perpindahan kiblat ini karena perselisihan Rasulullah SAW di Madinah. Menghadap ke arah kiblat menjadi syarat sah bagi umat Islam yang hendak menunaikan shalat baik shalat fardhu lima waktu sehari semalam atau shalat-shalat sunat yang lain. Kaidah dalam menentukan arah kiblat memerlukan suatu ilmu khusus yang harus dipelajari atau sekurang-kurangnya meyakini arah yang dibenarkan agar sesuai dengan syariat.
Hukum Arah Kiblat

Kiblat sebagai tumpuan umat islam dalam mengerjakan ibadah dalam konsep arah terdapat beberapa hukum yang berkaitan yang telah ditentukan secara syariat yaitu :

* Hukum Wajib
1. Ketika shalat fardhu ataupun shalat sunah menghadap kiblat merupakan syarat sahnya shalat.
2. Ketika melakukan tawaf di Baitullah.
3. ketika menguburkan jenazah maka harus diletakkan miring bahu kanan menyentuh liang lahat dan muka menghadap kiblat.
* Hukum Sunah Bagi yang ingin membaca al-qur'an, berdoa, berzikir, tidur(bahu kanan di bawah) dan lain-lain yang berkaitan.
* Hukum Haram Ketika membuang air besar atau kecil di tanah lapang tanpa ada dinding penghalang.
* Hukum Makruh Membelakangi arah kiblat dalam setiap perbuatan seperti membuang air besar atau kecil dalam keadaan berdinding, tidur menelentang sedang kaki selunjur ke arah kiblat dan sebagainya.

Konsep Ijtihad dalam Menentukan Arah Kiblat

Ke semua empat mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali telah bersepakat bahwa menghadap kiblat salah satu merupakan syarat sahnya shalat. Bagi mazhab Syafi'i telah menambah dan menetapkan tiga kaidah yang bisa digunakan untuk memenuhi syarat menghadap kiblat yaitu:

1. Menghadap Kiblat Yakin (Kiblat Yakin) Seseorang yang berada di dalam Masjidil Haram dan melihat langsung Ka'bah, wajib menghadapkan dirinya ke Kiblat dengan penuh yakin. Ini yang juga disebut sebagai “Ainul Ka’bah”. Kewajiban tersebut bisa dipastikan terlebih dahulu dengan melihat atau menyentuhnya bagi orang yang buta atau dengan cara lain yang bisa digunakan misalnya pendengaran. Sedangkan bagi seseorang yang berada dalam bangunan Ka’bah itu sendiri maka kiblatnya adalah dinding Ka’bah.
2. Menghadap kiblat Perkiraan (Kiblat Dzan) Seseorang yang berada jauh dari Ka'bah yaitu berada di luar Masjidil Haram atau di sekitar tanah suci Mekkah sehingga tidak dapat melihat bangunan Ka’bah, mereka wajib menghadap ke arah Masjidil Haram sebagai maksud menghadap ke arah Kiblat secara dzan atau kiraan atau disebut sebagai “Jihadul Ka’bah”. Untuk mengetahuinya dapat dilakukan dengan bertanya kepada mereka yang mengetahui seperti penduduk Makkah atau melihat tanda-tanda kiblat atau “shaff” yang sudah dibuat di tempat–tempat tersebut.
3. Menghadap kiblat Ijtihad (Kiblat Ijtihad) Ijtihad arah kiblat digunakan seseorang yang berada di luar tanah suci Makkah atau bahkan di luar negara Arab Saudi. Bagi yang tidak tahu arah dan ia tidak dapat mengira Kiblat Dzannya maka ia boleh menghadap kemanapun yang ia yakini sebagai Arah Kiblat. Namun bagi yang dapat mengira maka ia wajib ijtihad terhadap arah kiblatnya. Ijtihad dapat digunakan untuk menentukan arah kiblat dari suatu tempat yang terletak jauh dari Masjidil Haram. Diantaranya adalah ijtihad menggunakan posisi rasi bintang, bayangan matahari, arah matahari terbenam dan perhitungan segitiga bola maupun pengukuran menggunakan peralatan modern.Bagi lokasi atau tempat yang jauh seperti Indonesia, ijtihad arah kiblat dapat ditentukan melalui perhitungan falak atau astronomi serta dibantu pengukurannya menggunakan peralatan modern seperti kompas, GPS, theodolit dan sebagainya. Penggunaan alat-alat modern ini akan menjadikan arah kiblat yang kita tuju semakin tepat dan akurat. Dengan bantuan alat dan keyakinan yang lebih tinggi maka hukum Kiblat Dzan akan semakin mendekati Kiblat Yakin. Dan sekarang kaidah-kaidah pengukuran arah kiblat menggunakan perhitungan astronomis dan pengukuran menggunakan alat-alat modern semakin banyak digunakan secara nasional di Indonesia dan juga di negara-negara lain. Bagi orang awam atau kalangan yang tidak tahu menggunakan kaidah tersebut, ia perlu taqlid atau percaya kepada orang yang berijtihad.

Pengertian Dan Tata Cara Sholat Yang Benar; Dua Dimensi Shalat

Shalat adalah ibadah yang terpenting dan utama dalam Islam. Dalam deretan rukun Islam Rasulullah saw. menyebutnya sebagai yang kedua setelah mengucapkan dua kalimah syahadat (syahadatain). Rasullah bersabda, “Islam dibangun atas lima pilar: bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berhajji ke ka’bah baitullah dan puasa di bulan Ramadlan.” (HR. Bukhari, No.8 dan HR. Muslim No.16).

Ketika ditanya Malaikat Jibril mengenai Islam, Rasullah saw. lagi-lagi menyebut shalat pada deretan yang kedua setelah syahadatain (HR. Muslim, No.8). Orang yang mengingkari salah satu dari rukun Islam, otomatis menjadi murtad (keluar dari Islam). Abu Bakar Ash Shidiq ra. ketika menjabat sebagai khalifah setelah Rasullah saw. wafat, pernah dihebohkan oleh sekelompok orang yang menolak zakat. Bagi Abu Bakar mereka telah murtad, maka wajib diperangi. Para sahabat bergerak memerangi mereka. Peristiwa itu terkenal dengan harbul murtaddin. Ini baru manolak zakat, apalagi menolak shalat.

Ketika menyebutkan ciri-ciri orang yang bertakwa pada awal surah Al-Baqarah, Allah menerangkan bahwa menegakkan ibadah shalat adalah ciri kedua setelah beriman kepada yang ghaib (Al-Baqarah: 3). Dari proses bagaimana ibadah shalat ini disyariatkan –lewat kejadian yang sangat agung dan kita kenal dengan peristiwa Isra’ Mi’raj– Rasulullah saw. tidak menerima melalui perantara Malaikat Jibril, melainkan Allah swt. langsung mengajarkannya. Dari sini tampak dengan jelas keagungan ibadah shalat. Bahwa shalat bukan masalah ijtihadi (baca: hasil kerangan otak manusia yang bisa ditambah dan diklurangi) melainkan masalah ta’abbudi (baca: harus diterima apa adanya dengan penuh keta’atan). Sekecil apapun yang akan kita lakukan dalam shalat harus sesuai dengan apa yang diajarkan Allah langsung kepada Rasul-Nya, dan yang diajarkan Rasulullah saw. kepada kita.

Bila dalam ibadah haji Rasulullah saw. bersabda, “Ambillah dariku cara melaksanakan manasik hajimu”, maka dalam shalat Rasullah bersabda, “shalatlah sebagaiman kamu melihat aku shalat”. Untuk menjelaskan bagaimana cara Rasullah saw. melaksanakan shalat, paling tidak ada dua dimensi yang bisa diuraikan dalam pembahasan ini: dimensi ritual dan dimensi spiritual.

Dimensi Ritual Shalat

Dimensi ritual shalat adalah tata cara pelaksanaannya, termasuk di dalamnya berapa rakaat dan kapan waktu masing-masing shalat (shubuh, zhuhur, ashar, maghrib, isya’) yang harus ditegakkan. Dalam hal ini tidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah saw., apa lagi ulama, yang mencoba-coba berusaha merevisi atau menginovasi. Umpamnya yang empat rakaat dikurangi menjadi tiga, yang tiga ditambah menjadi lima, yang dua ditambah menjadi empat dan lain sebagainya.

Dalam segi waktu pun tidak ada seorang ulama yang berani menggeser. Katakanlah waktu shalat Zhuhur digeser ke waktu dhuha, waktu shalat Maghrib digeser ke Ashar dan sebagainya (perhatikan: An-Nisa’: 103). Artinya shalat seorang tidak dianggap sah bila dilakukan sebelum waktunya atau kurang dari jumlah rakakat yang telah ditentukan. Dalam konteks ini tentu tidak bisa beralasan dengan shalat qashar (memendekkan jumlah rakaat) atau jama’ taqdim dan ta’khir (menggabung dua shalat seperti dzhuhur dengan ashar: diawalkan atau diakhirkan) karena masing-masing dari cara ini ada nashnya (baca: tuntunan dari Alquran dan sunnah Rasullah saw.; An-Nisa’: 101), dan itupun tidak setiap saat, melainkan hanya pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan kondisi yang tercantum dalam nash.

Apa yang dibaca dalam shalat juga tercakup dalam tata cara ini dan harus mengikuti tuntunan Rasulullah. Jadi tidak bisa membaca apa saja seenaknya. Bila Rasullah memerintahkan agar kita harus shalat seperti beliau shalat, maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk menambah-nambah. Termasuk dalam hal menambah adalah membaca terjemahan secara terang-terangan dalam setiap bacaan yang dibaca dalam shalat. Karena sepanjang pengetahuan penulis tidak ada nash yang memerintahkan untuk juga membaca terjemahan bacaan dalam shalat, melainkan hanya perintah bahwa kita harus mengikuti Rasullah secara ta’abbudi dalam melakukan shalat ini.

Mungkin seorang mengatakan, benar kita harus mengikuti Rasullah, tapi bagaimana kalau kita tidak mengerti apa makna bacaan yang kita baca dalam shalat? Bukankah itu justru akan mengurangi nilai ibadah shalat itu sendiri? Dan kita hadir dalam shalat menjadi seperti burung beo, mengucapkan sesuatu tetapi tidak paham apa yang kita ucapkan?

Untuk mengerti bacaan dalam shalat, caranya tidak mesti dengan membaca terjemahannya ketika shalat, melainkan Anda bisa melakukannya di luar shalat. Sebab, tindakan membaca terjemahan dalam shalat seperti tindakan seorang pelajar yang menyontek jawaban dalam ruang ujian. Bila menyontek, jawaban merusak ujian pelajar. Membaca terjemahan dalam shalat juga merusak shalat. Bila si pelajar beralasan bahwa ia tidak bisa menjawab kalau tidak nyontek, kita menjawab Anda salah mengapa tidak belajar sebelum masuk ke ruang ujian. Demikian juga bila seorang beralasan bahwa ia tidak mengerti kalau tidak membaca terjemahan dalam shalat, kita jawab, Anda salah mengapa Anda tidak belajar memahami bacaan tersebut di luar shalat. Mengapa Anda harus dengan mengorbankan shalat, demi memahami bacaan yang Anda baca dalam shalat? Wong itu bisa Anda lakukan di luar shalat.

Pentingnya mengikuti cara Rasullah bershalat, ternyata bukan hanya bisa dipahami dari hadits tersebut di atas, melainkan dalam teks-teks Alquran sangat nampak dengan jelas. Dari segi bahasa dan gaya ungkap Alquran selalu menggunakan “aqiimush shalaata” (tegakkankanlah shalat) atau “yuqiimunash sahalat” (menegakkan shalat). Menariknya, ungkapan seperti ini juga digunakan Rasullah saw. Pada hadits mengenai pertemuannya dengan Malaikat Jibril, Rasullah bersabda: “watuqiimush shalata“ (HR. Muslim No.8) dan pada hadits mengenai pilar-pilar Islam bersabda: “waiqaamish shalati “. (HR. Bukahri No.8 dan HR. Muslim No.16)

Apa makna dari aqiimu atau yuqiimu di sini? Mengapa kok tidak langsung mengatakan shallu (bershalatlah) atau yushalluuna (mereka bershalat)? Para ahli tafsir bersepakat bahwa dalam kata aqiimu atau yuqiimuuna mengandung makna penegasan bahwa shalat itu harus ditegakkan secara sempurna: baik secara ritual dengan memenuhi syarat dan rukunnya, tanpa sedikitpun mengurangi atau menambah, maupun secara spiritual dengan melakukannya secara khusyuk seperti Rasulullah saw. melakukannya dengan penuh kekhusyukan. Masalah khusyu’ adalah pembahasan dimensi spiritual shalat yang akan kita bicarakan setelah ini.

Dimensi Spiritual Shalat

Mengikuti cara Rasulullah saw. shalat tidak cukup hanya dengan menyempurkan dimensi ritulanya saja, melainkan harus juga diikuti dengan menyempurnakan dimensi spritualnya. Ibarat jasad dengan ruh, memang seorang bisa hidup bila hanya memenuhi kebutuhan jasadnya, namun sungguh tidak sempurna bila ruhnya dibiarkan meronta-meronta tanpa dipenuhi kebutuhannya. Demikian juga shalat, memang secara fikih shalat Anda sah bila memenuhi syarat dan ruku’nya secara ritual, tapi apa makna shalat Anda bila tidak diikuti dengan kekhusyukan. Perihal kekhusyukan ini Alquran telah menjelaskan, “Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, dan sesungguhnya shalat itu sangat berat kecuali bagi mereka yang khusyu.” (Al-Baqarah: 45)

Imam Ibn Katsir, ketika menafsirkan ayat ini, menyebutkan pendapat para ulama salaf mengenai makna khusyu’ dalam shalat: Mujahid mengatakan, itu suatu gambaran keimanan yang hakiki. Abul Aliyah menyebut, alkhasyi’in adalah orang yang dipenuhi rasa takut kepada Allah. Muqatil bin Hayyanperpendapat, alkhasyi’in itu orang yang penuh tawadhu’. Dhahhaq mengatakan, alkhasyi’en merupakan orang yang benar-benar tunduk penuh ketaatan dan ketakutan kepada Allah. (Ibn Katsir, Tafsirul Qur’anil azhim, Bairut, Darul fikr, 1986, vol. 1, h.133)

Dan pada dasarnya shalat –seperti yang digambarkan Ustadz Sayyid Quthub– adalah hubungan antara hamba dan Tuhannya yang dapat menguatkan hati, membekali keyakinan untuk menghadapi segala kenyataan yang harus dilalui. Rasulullah saw. –kata Sayyid- setiap kali menghadapi persoalan, selalu segara melaksanakan shalat. (Sayyid Quthub, fii zhilalil Qur’an, Bairut, Darusy syuruuq, 1985, vol. 1, h. 69)

Dalam hal ini tentu shalat yang dimaksud bukan sekedar shalat, melainkan shalat yang benar-benar ditegakkan secara sempurna: memenuhi syarat dan rukunnya, lebih dari itu penuh dengan kekhusyukan. Karena hanya shalat yang seperti inilah yang akan benar-benar memberikan ketenangan yang hakiki pada ruhani, dan benar- benar melahirkan sikap moral yang tinggi, seperti yang dinyatakan dalam Alquran: “dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar ”. (Al-Ankabut: 45)

Jelas, bahwa hanya shalat yang khusyu’ yang akan membimbing pelaksananya pada ketenangan dan kemuliaan perilaku. Oleh sebab itu para ulama terdahulu selalu mengajarkan bagimana kita menegakkan shalat dengan penuh kekhusyukan. Imam As-Samarqandi dalam bukunya tanbihul ghafiliin, menulis bab khusus dengan judul: Bab itmamush shalaati wal khusyu’u fiihaa (Bab menyempurkan dan khusyuk dalam shalat). Disebutkan dalam buku ini bahwa orang yang sembahyang banyak, tetapi orang yang menegakkan shalat secara sempurna sedikit. (As Samarqandi, Tanbihul ghafiliin, Bairut, Darul Kitab al’Araby, 2002, h. 293)

Imam As-Samarqandi benar. Kini kita menyaksikan orang-orang shalat di mana-mana. Tetapi, berapa dari mereka yang benar-benar menikmati buah shalatnya, menjaga diri dari perbuatan keji, perzinaan, korupsi dan lain sebagainya yang termasuk dalam kategori munkar.

Antara Ritual dan Spritual

Ketika Rasulullah saw. memerintahkan agar kita mengikuti shalat seperti yang beliau lakukan, itu maksudnya mengikuti secara sempurna: ritual dan spiritual. Ritual artinya menegakkan secara benar syarat dan rukunnya, spiritual artinya melaksanakannya dengan penuh keikhlsan, ketundukan dan kekhusyukan.

Kedua dimiensi itu adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Satu dimensi hilang, maka shalat Anda tidak sempurna. Bila Anda hanya mengutamakan yang spiritual saja, dengan mengabaikan yang ritual (seperti tidak mengkuti cara-cara shalat Rasulluah secara benar, menambahkan atau mengurangi, atau meniggalkannya sema sekali) itu tidak sah. Dengan bahasa lain, shalat yang ditambah dengan menerjemahkan setiap bacaannya ke dalam bahasa Indonesia, itu bukan shalat yang dicontohkan Rasullah. Maka, itu tidak disebut shalat, apapun alasan dan tujuannya.

Sebaliknya, bila yang Anda utamakan hanya yang ritual saja dengan mengabaikan yang spiritual, boleh jadi shalat Anda sah secara fikih. Tetapi, tidak akan membawa dampak apa-apa pada diri Anda. Karena yang Anda ambil hanya gerakan shalatnya saja. Sementara ruhani shalat itu Anda campakkan begitu saja. Bahkan bila yang anda abaikan dari dimensi spiritual shalat itu adalah keikhlasan, akibatnya fatal. Shalat Anda menjadi tidak bernilai apa-apa di sisi-Nya. Na’udzubillahi mindzaalika. Wallahu A’lam bish shawab.

sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/dua-dimensi-shalat/

Minggu, 28 Maret 2010

Wirausahawan Sukses

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah, mendirikan shalat dan menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tiada merugi. QS Fathir {35}:29

Ada seorang pengusaha sukses di Indonesia yang memulai karirnya dengan membuka sebuah bisnis makanan dan kini telah merambah seluruh tanah air dengan puluhan outlet dan cabangnya. Dalam tempo اyang tidak terlalu lama, usaha makanan lezat yang ia rintis berkembang dengan begitu menggurita. Masyarakat pun banyak menggandrungi makanan yang disajikan oleh ‘brand’ restoran miliknya.

Suatu saat pernah, beliau menjadi sponsor utama sebuah seminar zakat yang diadakan di kota Medan. Usai menyampaikan materi seminar, para pembicara diajak untuk menikmati santap siang di salah satu restoran milik sang pengusaha.

Ketika santap makan siang berlangsung, salah seorang pembicara menyela dengan sebuah pertanyaan kepada pemilik restoran, "Pak, boleh dong berbagi cerita kiat sukses merintis bisnis kayak begini. Sepertinya bapak gak terlalu lama membangun bisnis ini tapi kok langsung menggurita sampai seluruh tanah air. Apa sih rahasianya?" Sambil tersenyum penuh rasa syukur, pengusaha ini menjawab dengan nada yakin: "Pak Ustadz, sama seperti pengusaha lain, saya merintis ini dengan jatuh-bangun. Namun, sejak saya bertekad untuk menaikan zakat saya hingga 5% dari penghasilan. Subhanallah… Allah berkenan memberikan rezeki yang melimpah kepada saya, keluarga dan semua orang yang terlibat dalam usaha ini." Ia menambahkan, "Saya amat percaya, semakin banyak kita membantu Allah, Dia pun akan lebih banyak lagi akan memberikan balasannya kepada kita. Dan itu telah kami rasakan kebenarannya!"

Allahu Akbar… Allah Maha Besar… Dia mampu untuk memberikan balasan yang begitu berkah bagi hamba-Nya yang mau berniaga kepada-Nya.

Itu cerita dari pulau Sumatera, tepatnya di kota Medan. Lain lagi kisah seorang pengusaha berkah dari Provinsi Jawa Tengah. Banyak usaha yang ia tangani. Mulai dari percetakan, penerbitan, institusi pendidikan, pelayanan haji & umrah, yayasan-yayasan social, dan banyak lagi. Bagi saya, jumlah usaha & kegiatan yang beliau tangani sulit dihitung dengan jari. Terakhir saya dengar, beliau tengah membangun sebuah hotel syariah di bilangan kota yang cukup strategis dengan biaya miliaran rupiah. Hal yang lebih membuat kagum adalah…, semua usaha yang beliau bangun berjalan dengan lancar dan memberi hasil yang tidak sedikit.

Subhanallah…, dengan keterbatasan waktu yang dimiliki, beliau amat terampil untuk mengelola semua usahanya. Saya penasaran untuk mengetahui rahasia kesuksesan di balik itu semua. Sampai pada akhirnya, salah seorang staffnya bercerita kepada saya bahwa beliau selalu menginfak-an hampir 30% dari penghasilannya di jalan Allah Swt.

Kala krisis moneter, perusahaan percetakan miliknya hampir bangkrut sama seperti usaha yang lain. Sebuah kebijakan yang ia tempuh terdengar aneh saat itu. Para karyawannya yang berjumlah ratusan, tidak ia rumahkan. Bahkan beliau tambahkan gaji mereka. Sehingga membuat karyawan tersebut senang, tidak resah dengan harga bahan pokok yang menggila pada saat itu, dan akhirnya…. mereka pun berdoa untuk kebaikan pemilik usaha. Subhanallah… siapa yang suka memberi, ia pasti akan diberi. Oleh siapa, ya… oleh Sang Maha Pemberi, Al Wahhab!

Perniagaan yang tiada merugi… itulah salah satu jaminan bagi orang yang suka berinfak.

Cobalah simak hadits 567 bab 60 dalam kitab Riyadhus ShalihinI! Di sana Nabi Saw berkisah, ada seorang petani di Madinah… ia berdiri di antara kebun kurmanya yang kering kekurangan air. Pohon tidaklah subur, sementara buah-buahan tidak muncul dengan baik. Ia khawatir, bila kekurangan air maka kebun tidak akan memberi hasil maksimal untuk kebutuhan hidup ia dan keluarga. Ia menengadah ke arah langit. Kedua tangannya, ia angkat setinggi mungkin seraya merapal lafal-lafal doa kepada Allah agar kebunnya diberi air hujan.

Tak lama sejak itu, Allah mengirimkan awan untuk berkumpul. Beriringan sedikit demi sedikit, awan berkumpul dengan cukup lebat di atas kebunnya. Sang petani tersenyum kegirangan. Dalam hatinya, ia berucap… "Allah mengabulkan doa & permintaanku tadi!" Namun sebaliknya yang terjadi. Terdengar olehnya sebuah suara yang berasal dari langit dan berbunyi, "Wahai awan, pergilah ke tanah si Fulan…!"

Maka berjalanlah awan ke arah lain, ke tempat yang tidak diketahui oleh si petani yang baru saja berdoa. Kekesalan membuncah dalam batin sang petani. "Mengapa hujan tidak jadi turun di tanahku?" gumamnya. Ia pun penasaran. Ia berlari dan terus berlari. Mengikuti kemana awan akan berhenti dan menurunkan air yang dikandungnya.

Sampai di suatu tempat yang subur… daunnya rimbun… dan memiliki air yang banyak. Awan pun berhenti dan mencurahkan segala air yang berada di dalam perutnya. Si petani menatap keheranan…, tatkala dilihatnya ada seorang pria bersahaja yang sedang berdoa syukur kepada Tuhan karena telah memberi rahmat pada tanahnya.

Saat itu, si petani memanggil nama si pemilik tanah. Sang pemilik tanah merasa heran lalu bertanya, "Saudara, dari mana Anda tahu namaku?" "Itulah saudaraku, aku sendiri ingin bertanya sebaliknya, amalan apa yang membuat usahamu begitu berkah hingga namamu ku dengar dari suara langit yang memerintahkan awan untuk menurunkan hujan di sini…, di tanahmu!" Subhanallah! Bukankah ini sebuah prestasi hebat, hingga membuat nama seseorang disebut di langit?

Si pemilik tanah mencoba menjawab pertanyaan petani, "Saudara, belum ada orang yang aku beritahukan tentang amalan yang aku kerjakan sehingga membuahkan hasil sedemikian. Namun karena engkau telah tahu sebagian rahasia ini… dan juga karena engkau telah menanyakannya, maka tak layak bagiku untuk merahasiakannya lagi." "Ceritakanlah padaku, wahai Saudara!" gegas si Petani sebab penasaran.

"Rahasianya mungkin adalah…. Setiap kali kebun dan tanah ini memberi hasil, hanya sepertiga darinya yang aku makan. Sepertiganya lagi aku kembalikan kepada tanah ini sebagai tambahan modal. Lalu sepertiganya lagi, aku berikan kepada Allah Swt sebagai infakku di jalannya. Itulah amalan rutin yang aku kerjakan sehingga membawaku pada hasil yang sedemikian."

Subhanallah….! Pemilik tanah tersebut memberikan sepertiga dari penghasilannya untuk Allah Swt. Tak pelak, Allah Swt pun memuliakannya. Saudaraku…, bila dalam merintis usaha, perniagaan, perdagangan atau apapun yang kita lakukan… bila kita sering mengalami kerugian, kebangkrutan, kredit macet dan lain sebagainya yang dapat membuat usaha kita mengalami kemunduran. Maka…, cobalah resep di atas! Insya Allah, Anda akan merasakan apa yang mereka rasakan, yaitu Perniagaan yang Tiada Merugi Disebabkan Infak di Jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selamat Mencoba! 

http://fhea.wordpress.com/2008/03/02/wirausahawan-sukses/

Rahasia Memulai Bisnis Tanpa Modal

Menjadi pertanyaan, mungkinkah memulai bisnis tanpa modal? Mungkin saja! Anda hanya perlu rahasianya. Sudah banyak orang sukses berbisnis tanpa modal berupa cash money yang besar. Sebut saja Purdi E. Chandra dengan jaringan Primagamanya. Purdi hanya mengandalkan kemampuan melobinya, sekaligus kecerdikan untuk memulai usaha. Anda pun bisa melakukannya!

Rahasia #1: Lakukan bisnis jasa

Saat mencari ide usaha, Anda dapat memilih: menjual barang atau jasa. Menjual barang memerlukan banyak modal. Anda perlu membeli barang lebih dulu dan kemudian dijual kembali. Contohnya pada bisnis ritel, membuat toko kelontong, grosiran sembako. Atau memproduksi barang dulu baru lalu menjualnya, seperti usaha roti, konveksi garmen. Belum lagi kalau barang tidak laku. Berapa modal yang tak kembali? Berbeda dengan bisnis jasa. Anda benar-benar bisa memulai dari modal dengkul. Bisnis ini tidak membuat Anda mengeluarkan banyak biaya! Contohnya Purdi, dengan memulai bisnis bimbingan belajar. Bermula dari 2 siswa dan menempati salah satu ruang rumah kontrakannya, siapa mengira kalau bisnis ini bisa berkembang menggurita.

Rahasia #2: Hemat Biaya

Anda tidak ingin menghabiskan banyak uang, bukan? Karena itu, jaga agar pengeluaran Anda sedikit. Cara terbaik untuk menjaga overhead tetap rendah adalah memulai bisnis dari rumah. Anda bisa menghemat biaya untuk sewa kantor, membayar resepsionis, membayar pajak, izin usaha, dan lain-lain. Jangan berasumsi kalau bisnis rumahan hanya kacangan. Banyak bisnis raksasa dimulai dari rumah: Amazon.com, Microsoft, Xeroc, The Body Shop, Martha Tilaar.

Rahasia #3: Jangan masukkan semua telur dalam satu keranjang

Anda mungkin sudah bekerja sebagai karyawan, saat memutuskan untuk berwirausaha. Mundur dari pekerjaan saat mengawali usaha dari nol mungkin kurang bijaksana. Anda kehilangan sumber penghasilan, sementara usaha Anda belum memberikan hasil yang nyata. Karena itu, pertahankan pekerjaan sembari Anda memulai usaha, Mulailah bisnis paruh waktu. Bila kemudian usaha Anda tampak berkembang, Anda boleh melepaskan pekerjaan sebagai karyawan.

Rahasia #4: Lihat kebutuhan pasar

Ini adalah aturan utama bisnis. Anda harus menawarkan jasa yang dibutuhkan oleh banyak orang dan mereka bersedia membayarnya. Membuat usaha jasa memotong rumput dan pohon, bagus, tetapi jika Anda berada di tengah kota di mana banyak rumah tanpa halaman, siapa yang akan memakai jasa Anda? Karena itu, lakukan riset pasar. Saat ini ada banyak usaha jasa yang bisa dilakukan. Anda suka menulis? Buka jasa penulisan entah biografi, web content, ghostwriter, company profile, dan sebagainya. Suka menggambar dan desain? Bikin jasa desain iklan, website, cover buku, atau ilustrator. Bahkan suka omong pun bisa dijadikan ladang usaha. Jadi presenter, misalnya. Yang jelas, pastikan ada konsumen yang membutuhkan jasa Anda.

Anda telah mengetahui rahasianya. Jika Anda melakukannya, peluang sukses Anda akan jauh lebih besar. Selamat berusaha!



Oleh: Dessy Danarti

Penulis buku "Dari Hobi menjadi Hoki" (Penerbit Andi, 2005)

Sumber: www.beritanet.com

Sejarah Theologi Islam

Lahirnya teologi dalam Islam adalah tergolong unik. Pasalnya teologi Islam bukan lahir dari persoalan agama, melainkan justru dari persoalan politik yaitu dimulai ketika Rasulullah meninggal dunia pada tahun 632 M. Selanjutnya dalam sejarah Islam, teologi Islam terbagi dalam periode sebagai berikut:
1. Periode klasik (650-1250 M)
Teologi yang berkembang di era klasik ini adalah teologi sunnatullah atau teologi yang berdasarkan pada hukum alam (natural law). Teologi natural pada prinsipnya keberimanan yang berdasarkan hanya pada rasio, teologi ini kajiannya murni filsafat. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan filosofis. Sehingga produk teologi yang dihasilkan adalah teologi yang dibangun berdasarkan argumen-argumen logis-rasional.
Ciri-ciri teologi natural (sunnatullah) ini adalah :
- kedudukan akal yang tinggi
- kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.
- kebebasan berpikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur’an dan Haditas yang sedikit sekali jumlahnya.
- Percaya pada adanya sunnatullah dan kausalitas
- mengambil dari metaforis dari tek wahyu
- Dinamika dalam sikap dan berpikir.
Lahirnya teologi sunnatullah atau natural ini didukung oleh lahirnya iklim dialog antara dunia Islam dengan alam pemikiran Yunani. Ketika dunia Islam mulai bersentuhan dengan peradaban Yunani, maka rasionalisme mulai bergeliat dalam dunia Islam. Semangat rasionalisme yang ada dalam filsafat inilah yang dijadikan oleh para pemikir Islam untuk membangun teologi.
Periode klasik ini secara umum terbagi menjadi dua. Pertama adalah periode klasik (650-1000) yaitu periode zaman di mana daerah Islam mulai meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan di Persia sampai mke India di Timur. Daerah-daerah itu tunduk kepada kekuasaan khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, dan kemudian di Damsyik dan terakhir di Baghdad. Di masa inilah berkembang dan maju pesat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang coraknya bermacam-macam seperti fiqh, filsafat, sufusme dan termasuk teologi. Dari periode ini ulama –ulama fiqh yang mucul seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii. Sementara dalam bidang teologi ulama-ulama yang lahir adalah Imam Al-Asy’ari, Imam Al-Maturidi, Washil Bin Atho’ Abu Huzail, Al-Nizam dan Al-Jubai.
Kedua adalah fase disintegerasi (1000-1250 M). Di masa ini persatuan dan kesatuan umat Islam mulai mengalami kemunduran. Konflik politik seringkali melanda sehingga menyebabkan Baghdad berhasil dikuasasi oleh Hulaghu Khan di tahun 1258.
Teologi di abad klasik ini termasuk teologi Qadariyyah. Paham ini terkenal dengan nama free wil, dan free act. Artinya manusia mempunyai kebebasan atau kemerdekaan dalam menentukan hidupnya. Seluruh prestasi yang dihasilkan oleh manusia bukanlah dari Tuhan melainkan dari manusianya sendiri karena manusia diyakini mempunyai kekuatan dan kapabelitas untuk menghasilkan prestasi tersebut.
Teologi sunnatullah atau Qadariyyah ini bukan sekedar beroreintasi pada kehidupan akhirat, melainkan juga mempunyai target dunia. Oleh karena itu, di era Qadariyah ini, di samping basis keimanan umat Islam karena ditopang oleh rasionalisme, bidang-bidang lain seperti ekonomi, politik dan sejenisnya mengalami kemajuan pesat.
2. Periode Pertengahan ((1250-1800 M)
Di era pertengahan ini Islam justru mengalami era kegelapan (the darkness age). Setelah Timur berhasil dihancur leburkan oleh kengiskhan dan hulaghu khan, maka hampir semua literatur –literatur Islam di bawa oleh para penjajah tersebut ke Barat sementara sebagian yang lain telah mereka bakar.
Karena perhatian dan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan atau filsafat rendah, maka teologi yang berkembang pada periode pertengahan ini adalah teologi Jabariyyah. Ciri-ciri teologi ini adalah:
- Kedudukan akal rendah
- Ketidakbebasan dalam kemauan dan perbuatan
- Kebebasan berpikir yang diikat oleh banyak dogma
- Ketidakpercayaan kepada sunnatullah dan kausalitas
- Terikat pada arti literal al-Qur’an dan Hadits
- Statis dalam sikap dan berpikir
Dalam teologi Jabariyyah yang statis dan fatalistik ini, berlaku sebuah keyakinan bahwa manusia tidak mempunyai kehendak, tidak mempunyai kekuasaan dan tidak mempunyai pilihan; manusia dalam perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.
Namun karena seperti yang telah disinggung di atas, bahwa karena teologi Islam adalah lahir dari masalah politik, maka di dalam paham ini sebenarnya kuat sekali tendensi politiknya. Hal ini nampak sekali pada penguasa daulah Umayyah di Damaskus. Seolah-olah karena didorong oleh keperluan membela sahabat utsman Bin Affan, tetapi yang pasti itu hanyalah sekedar topeng belaka, kepentingan utamanya adalah untuk kepentingan politiknya sendiri.
3. Abad Modern (1800 dan seterusnya)
Untuk merealisasikan semangat teologi tersebut, maka pada abad ke 19 mulai didirikan sekolah-sekolah moderrn gaya Barat di Mesir, Turki dan India. Di sekolah-sekolah ini semangat ilmiah mulai dihidupkan kembali. Pola berpikir yang rasional, filosofis dan ilmiah mulai dibudayakan. Namun meskipun demikian, program dan tawaran para mujadid untuk kembali ke teologi sunnatullah yang mengedepankan rasionalitas itu dalam realitas empiriknya tidak mendapat apresiasi oleh seluruh umat Islam di dunia. Masih banyak masyarakat muslim yang justru menentang modernitas. Mereka justru berusaha untuk tertutup dan tak bersedia menyerap nilai-nilai modernitas. Namun usaha para mujadid awal seperti Muhammad Abduh dan kawan-kawan untuk kembali ke teologi Sunnatullah tetap ada hasilnya. Dengan digaungkannya teologi sunnatullah untuk mengimbangi peradaban modern Barat itu, produktifitas dan kreatifitas umat Islam mulai meningkat kembali meskipun itu masih jauh dari Barat

PENGERTIAN JUAL BELI

PENGERTIAN JUAL BELI
Secara etimologis, jual beli berarti menukar harta dengan harta. Sedangkan, secara terminologi, jual beli memiliki arti penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan.

DASAR HUKUM
Jual beli disyariatkan di dalam Alquran, sunnah, ijma, dan dalil akal. Allah SWT berfirman:
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Alquran, 2:275)

KLASIFIKASI JUAL BELI
Jual beli dibedakan dalam banyak pembagian berdasarkan sudut pandang. Adapun pengklasifikasian jual beli adalah sebagai berikut:

a. Berdasarkan Objeknya
Jual beli berdasarkan objek dagangnya terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1) Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang.
2) Jual beli as-Sharf (Money Changer), yaitu penukaran uang dengan uang.
3) Jual beli muqayadhah (barter), yaitu menukar barang dengan barang.

b. Berdasarkan Standardisasi Harga
1) Jual Beli Bargainal (tawar menawar), yaitu jual beli di mana penjual tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya.
2) Jual Beli Amanah, yaitu jual beli di mana penjual memberitahukan modal barang yang dijualnya. Dengan dasar ini, jual beli ini terbagi menjadi tiga jenis:
a) Jual beli murabahah, yaitu jual beli dengan modal dan keuntungan yang diketahui.
b) Jual beli wadhi’ah, yaitu jual beli dengan harga di bawah modal dan kerugian yang diketahui.
c) Jual beli tauliyah, yaitu jual beli dengan menjual barang sama dengan harga modal, tanpa keuntungan atau kerugian.
d) Cara Pembayaran

Ditinjau dari cara pembayaran, jual beli dibedakan menjadi empat macam:

1) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung (jual beli kontan).
2) Jual beli dengan pembayaran tertunda (jual beli nasi’ah).
3) Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
4) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.

SYARAT SAH JUAL BELI
Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat, harus dipenuhi beberapa syaratnya terlebih dahulu. Syarat-syarat ini terbagi dalam dua jenis, yaitu syarat yang berkaitan dengan pihak penjual dan pembeli, dan syarat yang berkaitan dengan objek yang diperjualbelikan.
Pertama, yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki kompetensi untuk melakukan aktivitas ini, yakni dengan kondisi yang sudah akil baligh serta berkemampuan memilih. Dengan demikian, tidak sah jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang yang dipaksa.
Kedua, yang berkaitan dengan objek jual belinya, yaitu sebagai berikut:
• Objek jual beli harus suci, bermanfaat, bisa diserahterimakan, dan merupakan milik penuh salah satu pihak.
• Mengetahui objek yang diperjualbelikan dan juga pembayarannya, agar tidak terhindar faktor ‘ketidaktahuan’ atau ‘menjual kucing dalam karung’ karena hal tersebut dilarang.
• Tidak memberikan batasan waktu. Artinya, tidak sah menjual barang untuk jangka waktu tertentu yang diketahui atau tidak diketahui.

Juzaf (Jual Beli Spekulatif)
Juzaf ialah menjual barang yang bisa ditakar, ditimbang atau dihitung secara borongan tanpa ditakar, ditimbang atau dihitung terlebih dahulu. Contoh hal ini adalah seseorang yang menjual setumpuk makanan, setumpuk pakaian atau sebidang tanah tanpa mengetahui kepastian ukurannya.
Jual beli ini disyariatkan sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Umar Ra. bahwa ia menceritakan, “Kami biasa membeli makanan dari para kafilah dagang dengan cara spekulatif. Lalu Rasulullah saw melarang kami menjualnya sebelum kami memindahkan dari tempatnya.” (HR. Muslim).
Hadits ini mengindikasikan bahwa para sahabat sudah terbiasa melakukan jual beli juzaf (spekulatif), sehingga hal itu menunjukkan bahwa hal tersebut dibolehkan.
Namun demikian, agar jual beli juzaf ini diperbolehkan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Para ulama Malikiyah menyebutkan persyaratan tersebut sebagai berikut:
• Baik pembeli dan penjual sama-sama tidak mengetahui ukuran barang dagangan. Kalau salah satunya tahu, jual beli itu tidak sah.
• Jumlah barang dangangan jangan banyak sekali sehingga sulit diprediksikan, atau sedikit sekali sehingga mudah dihitung.
• Tanah tempat meletakkan barang dagangan tersebut harus rata, sehingga tidak terjadi unsur kecurangan dalam spekulasi.
• Barang dagangan harus tetap dijaga dan kemudian diperkirakan jumlah atau ukurannya ketika terjadi akad.
Namun demikian, terdapat pengecualian, tidak boleh menjual komoditi riba fadhl dengan jenis yang sama secara spekulatif, seperti menjual satu tandum kurma dengan satu tandum kurma yang lain. Hal ini dikarenakan kaidah dalam jual beli komoditi riba fadhl, “Ketidaktahuan akan kesamaan sama saja dengan mengetahui adanya perbedaan (ketdaksamaanya).”

Sebab-sebab Dilarangnya Jual Beli
Larangan jual beli disebabkan karena dua alasan, yaitu:
a. Berkaitan dengan objek
1) Tidak terpenuhniya syarat perjanjian, seperti menjual yang tidak ada, menjual anak binatang yang masih dalam tulang sulbi pejantan (malaqih) atau yang masih dalam tulang dada induknya (madhamin).
2) Tidak terpenuhinya syarat nilai dan fungsi dari objek jual beli, seperti menjual barang najis, haram dan sebagainya.
3) Tidak terpenuhinya syarat kepemilikan objek jual beli oleh si penjual, seperti jual beli fudhuly.
b. Berkaitan dengan komitmen terhadap akad jual beli
1) jual beli yang mengandung riba
2) Jual beli yang mengandung kecurangan.
Ada juga larangan yang berkaitan dengan hal-hal lain di luar kedua hal di atas seperti adanya penyulitan dan sikap merugikan, seperti orang yang menjual barang yang masih dalam proses transaksi temannya, menjual senjata saat terjadinya konflik sesama mulim, monopoli dan sejenisnya. Juga larangan karena adanya pelanggaran syariat seperti berjualan pada saat dikumandangkan adzan shalat Jum’at.
Akan tetapi, kemungkinan yang paling banyak tersebar dalam realitas kehidupan adalah sebagai berikut:
• Objek jual beli yang haram.
• Riba.
• Kecurangan, serta;
• Syarat-syarat yang menggiring kepada riba, kecurangan atau kedua-duanya.

7. Jual Beli yang Bermasalah
a. Jual Beli yang Diharamkan
1) Menjual tanggungan dengan tanggungan
Telah diriwayatkan larangan menjual tanggungan dengan tanggungan sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi dari Ibnu ’Umar Ra.[9] Yaitu menjual harga yang ditangguhkan dengan pembayaran yang ditangguhkan juga. Misalnya, menggugurkan apa yang ada pada tanggungan orang yang berhutang dengan jaminan nilai tertentu yang pengambilannya ditangguhkan dari waktu pengguguran. Ini adalah bentuk riba yang paling jelas dan paling jelek sekali.
2) Jual beli disertai syarat
Jual beli disertai syarat tidak diijinkan dalam hukum Islam. Malikiyah menganggap syarat ini sebagai syarat yang bertentangan dengan konsekuensi jual beli seperti agar pembeli tidak menjualnya kembali atau menggunakannya.
Hambaliyah memahami syarat sebagai yang bertentangan dengan akad, seperti adanya bentuk usaha lain, seperti jual beli lain atau peminjaman, dan persyaratan yang membuat jual beli menjadi bergantung, seperti ”Saya jual ini kepadamu, kalau si Fulan ridha.”
Sedangkan Hanafiyah memahaminya sebagai syarat yang tidak termasuk dalam konsekuensi perjanjian jual beli, dan tidak relevan dengan perjanjian tersebut tapi bermanfaat bagi salah satu pihak.
3) Dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli
Tidak dibolehkan melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi, namun terdapat perbedaan dalam aplikasinya sebagai berikut:
 Jual beli dengan dua harga; harga kontan dan harga kredit yang lebih mahal. Mayoritas ulama sepakat memperbolehkannya dengan ketentuan, sebelum berpisah, pembeli telah menetapkan pilihannya apakah kontan atau kredit.
 Jual beli ’Inah, yaitu menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda, lalu si penjual membelinya kembali dengan pembayaran kontan yang lebih murah.

4) Menjual barang yang masih dalam proses transaksi dengan orang atau menawar barang yang masih ditawar orang lain. Mayoritas ulama fiqih mengharamkan jual beli ini. Hal ini didasarkan pada larangan dalam hadits shahih Bukhari dan Muslim, ”Janganlah seseorang melakukan transaksi penjualan dalam transaksi orang lain. Dan janganlah seseorang meminang wanita yang masih dipinang oleh orang lain, kecuali bila mendapat ijin dari pelaku transaksi atau peminang yang pertama.”
5) ’Orang kota menjual barang orang dusun.’ Yang dimaksud dengan istilah ini adalah orang kota yang menjadi calo bagi pedagang orang dusun.[15] Rasulullah saw bersabda: ”Janganlah orang kota menjualkan komoditi orang dusun. Biarkan manusia itu Allah berikan rizki, dengan saling memberi keuntungan yang satu kepada yang lain.” (HR. Muslim)
6) Menjual anjing. Dalam hadits Ibnu Mas’ud, Rasulullah telah melarang mengambil untung dari menjual anjing, melacur dan menjadi dukun (HR. Bukhari). Kalangan Syafi’iyah dan Hambaliyah menganggap tidak sah menjual anjing apapun, baik dipelihara (untuk berburu) maupun tidak. Sedangkan, Malikiyah membolehkan menjual anjing kelompok yang pertama dengan hadits: ”Rasulullah mengharamkan hasil jualan anjing, kecuali anjing buru.” (HR. An-Nasa’i).
7) Menjual alat-alat musik dan hiburan. Mayoritas ulama mengharamkan semua lat-alat hiburan dan alat-alat musik yang diharamkan.
Jual beli saat adzan Jum’at dikumandangkan. Allah swt berfirman: ”Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.” (Alquran, 62: 9). Adzan yang dimaksud adalah adzan ketika khatib naik mimbar. Parameter diharamkannya jual beli ini adalah bahwa orang yang melakukan transaksi adalah orang yang wajib shalat Jum’at, mengetahui larangan tersebut dan tidak dalam kondisi darurat. Jika keduanya tidak wajib shalat Jum’at, maka tidak apa-apa. Namun jika salah satunya wajib, keduanya berdosa.

b. Jual Beli yang Diperdebatkan
1) Jual beli ’Inah. Yaitu jual beli manipulatif agar pinjaman uang dibayar dengan lebih banyak (riba). Mayoritas ulama mengharamkannya tanpa pengecualian, sedangkan Imam as-Syafi’i membolehkannya jika tidak disepakati sebelumnya.
2) Jual beli Wafa. Yakni jual beli dengan syarat pengembalian barang dan pembayaran, ketika si penjual mengembalikan uang bayaran dan si pembeli mengembalikan barang. Menurut pendapat ulama tujuan dari jual beli ini adalah riba yang berupa manfaat barang.
3) Jual beli dengan uang muka. Yaitu dengan membayarkan sejumlah uang muka (urbun) kepada penjual dengan perjanjian bila ia jadi membelinya, uang itu dimasukkan ke dalam harganya. Jika tidak terjadi, urbun menjadi milik penjual. Mayoritas ulama membolehkan jual beli seperti ini, jika diberi batasan menunggu secara tegas.
4) Jual beli Istijrar. Yaitu mengambil kebutuhan dari penjual secara bertahap, selang beberapa waktu kemudian membayarnya. Mayoritas ulama membolehkannya, bahkan bisa jadi lebih menyenangkan bagi pembeli daripada jual beli dengan tawar menawar.