Laman

Senin, 15 Agustus 2011

Syarat dan Rukun Shalat

Syarat-Syarat Shalat
Shalat tidak akan sah kecuali jika memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun dan hal-hal yang wajib ada padanya serta menghindari hal-hal yang akan membatalkannya.

Adapun syarat-syaratnya ada sembilan: 1. Islam, 2. Berakal, 3. Tamyiz (dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk), 4. Menghilangkan hadats, 5. Menghilangkan najis, 6. Menutup aurat, 7. Masuknya waktu, 8. Menghadap kiblat, 9. Niat.
Secara bahasa, syuruuth (syarat-syarat) adalah bentuk jamak dari kata syarth yang berarti alamat.
Sedangkan menurut istilah adalah apa-apa yang ketiadaannya menyebabkan ketidakadaan (tidak sah), tetapi adanya tidak mengharuskan (sesuatu itu) ada (sah). Contohnya, jika tidak ada thaharah (kesucian) maka shalat tidak ada (yakni tidak sah), tetapi adanya thaharah tidak berarti adanya shalat (belum memastikan sahnya shalat, karena masih harus memenuhi syarat-syarat yang lainnya, rukun-rukunnya, hal-hal yang wajibnya dan menghindari hal-hal yang membatalkannya, pent.). Adapun yang dimaksud dengan syarat-syarat shalat di sini ialah syarat-syarat sahnya shalat tersebut.

Penjelasan Sembilan Syarat Sahnya Shalat
1. Islam
Lawannya adalah kafir. Orang kafir amalannya tertolak walaupun dia banyak mengamalkan apa saja, dalilnya firman Allah 'azza wa jalla, "Tidaklah pantas bagi orang-orang musyrik untuk memakmurkan masjid-masjid Allah padahal mereka menyaksikan atas diri mereka kekafiran. Mereka itu, amal-amalnya telah runtuh dan di dalam nerakalah mereka akan kekal." (At-Taubah:17)
Dan firman Allah 'azza wa jalla, "Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan." (Al-Furqan:23)
Shalat tidak akan diterima selain dari seorang muslim, dalilnya firman Allah 'azza wa jalla, "Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (Aali 'Imraan:85)
2. Berakal
Lawannya adalah gila. Orang gila terangkat darinya pena (tidak dihisab amalannya) hingga dia sadar, dalilnya sabda Rasulullah,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَالْمَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ، وَالصَّغِيْرِ حَتَّى يَبْلُغَ. (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُوْ دَاوُوْدَ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَه)
"Diangkat pena dari tiga orang: 1. Orang tidur hingga dia bangun, 2. Orang gila hingga dia sadar, 3. Anak-anak sampai ia baligh." (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa-i, dan Ibnu Majah).
3. Tamyiz
Yaitu anak-anak yang sudah dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, dimulai dari umur sekitar tujuh tahun. Jika sudah berumur tujuh tahun maka mereka diperintahkan untuk melaksanakan shalat, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

مُرُوْا أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ. (رَوَاهُ الْحَاكِمُ وَاْلإِمَامُ أَحْمَدُ وَأَبُوْ دَاوُوْدَ)
"Perintahkanlah anak-anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka ketika berumur sepuluh tahun (jika mereka enggan untuk shalat) dan pisahkanlah mereka di tempat-tempat tidur mereka masing-masing." (HR. Al-Hakim, Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud)
4. Menghilangkan Hadats (Thaharah)
Hadats ada dua: hadats akbar (hadats besar) seperti janabat dan haidh, dihilangkan dengan mandi (yakni mandi janabah), dan hadats ashghar (hadats kecil) dihilangkan dengan wudhu`, sesuai sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
"Allah tidak akan menerima shalat tanpa bersuci." (HR. Muslim dan selainnya)
Dan sabda Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, "Allah tidak akan menerima shalat orang yang berhadats hingga dia berwudlu`." (Muttafaqun 'alaih)
5. Menghilangkan Najis
Menghilangkan najis dari tiga hal: badan, pakaian dan tanah (lantai tempat shalat), dalilnya firman Allah 'azza wa jalla, "Dan pakaianmu, maka sucikanlah." (Al-Muddatstsir:4)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

تَنَزَّهُوْا مِنَ الْبَوْلِ فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنْهُ.
"Bersucilah dari kencing, sebab kebanyakan adzab kubur disebabkan olehnya."
6. Menutup Aurat
Menutupnya dengan apa yang tidak menampakkan kulit (dan bentuk tubuh), berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Allah tidak akan menerima shalat wanita yang telah haidh (yakni yang telah baligh) kecuali dengan khimar (pakaian yang menutup seluruh tubuh, seperti mukenah)." (HR. Abu Dawud)
Para ulama sepakat atas batalnya orang yang shalat dalam keadaan terbuka auratnya padahal dia mampu mendapatkan penutup aurat. Batas aurat laki-laki dan budak wanita ialah dari pusar hingga ke lutut, sedangkan wanita merdeka maka seluruh tubuhnya aurat selain wajahnya selama tidak ada ajnaby (orang yang bukan mahramnya) yang melihatnya, namun jika ada ajnaby maka sudah tentu wajib atasnya menutup wajah juga.
Di antara yang menunjukkan tentang mentutup aurat ialah hadits Salamah bin Al-Akwa` radhiyallahu 'anhu, "Kancinglah ia (baju) walau dengan duri."
Dan firman Allah 'azza wa jalla, "Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) masjid." (Al-A'raaf:31) Yakni tatkala shalat.
7. Masuk Waktu
Dalil dari As-Sunnah ialah hadits Jibril 'alaihis salam bahwa dia mengimami Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di awal waktu dan di akhir waktu (esok harinya), lalu dia berkata: "Wahai Muhammad, shalat itu antara dua waktu ini."
Dan firman Allah 'azza wa jalla, "Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (An-Nisa`:103)
Artinya diwajibkan dalam waktu-waktu yang telah tertentu. Dalil tentang waktu-waktu itu adalah firman Allah 'azza wa jalla, "Dirikanlah shalat dari sesudah tergelincirnya matahari sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Shubuh. Sesungguhnya shalat Shubuh itu disaksikan (oleh malaikat)." (Al-Israa`:78)
8. Menghadap Kiblat
Dalilnya firman Allah, "Sungguh Kami melihat wajahmu sering menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke Kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil-Haram, dan di mana saja kalian berada maka palingkanlah wajah kalian ke arahnya." (Al-Baqarah:144)
9. Niat
Tempat niat ialah di dalam hati, sedangkan melafazhkannya adalah bid'ah (karena tidak ada dalilnya). Dalil wajibnya niat adalah hadits yang masyhur, "Sesungguhnya amal-amal itu didasari oleh niat dan sesungguhnya setiap orang akan diberi (balasan) sesuai niatnya." (Muttafaqun 'alaih dari 'Umar Ibnul Khaththab)

Rukun-Rukun Shalat
Rukun-rukun shalat ada empat belas: 1. Berdiri bagi yang mampu, 2. Takbiiratul-Ihraam, 3. Membaca Al-Fatihah, 4. Ruku', 5. I'tidal setelah ruku', 6. Sujud dengan anggota tubuh yang tujuh, 7. Bangkit darinya, 8. Duduk di antara dua sujud, 9. Thuma'ninah (Tenang) dalam semua amalan, 10. Tertib rukun-rukunnya, 11. Tasyahhud Akhir, 12. Duduk untuk Tahiyyat Akhir, 13. Shalawat untuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, 14. Salam dua kali.

Penjelasan Empat Belas Rukun Shalat
1. Berdiri tegak pada shalat fardhu bagi yang mampu
Dalilnya firman Allah 'azza wa jalla, "Jagalah shalat-shalat dan shalat wustha (shalat 'Ashar), serta berdirilah untuk Allah 'azza wa jalla dengan khusyu'." (Al-Baqarah:238)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Shalatlah dengan berdiri..." (HR. Al-Bukhary)
2. Takbiiratul-ihraam, yaitu ucapan: 'Allahu Akbar', tidak boleh dengan ucapan lain
Dalilnya hadits, "Pembukaan (dimulainya) shalat dengan takbir dan penutupnya dengan salam." (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Al-Hakim)
Juga hadits tentang orang yang salah shalatnya, "Jika kamu telah berdiri untuk shalat maka bertakbirlah." (Idem)
3. Membaca Al-Fatihah
Membaca Al-Fatihah adalah rukun pada tiap raka'at, sebagaimana dalam hadits,

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ.
"Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah." (Muttafaqun 'alaih)
4. Ruku'
5. I'tidal (Berdiri tegak) setelah ruku'
6. Sujud dengan tujuh anggota tubuh
7. Bangkit darinya
8. Duduk di antara dua sujud
Dalil dari rukun-rukun ini adalah firman Allah 'azza wa jalla, "Wahai orang-orang yang beriman ruku'lah dan sujudlah." (Al-Hajj:77)
Sabda Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, "Saya telah diperintahkan untuk sujud dengan tujuh sendi." (Muttafaqun 'alaih)
9. Thuma'ninah dalam semua amalan
10. Tertib antara tiap rukun
Dalil rukun-rukun ini adalah hadits musii` (orang yang salah shalatnya),
"Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam masuk mesjid, lalu seseorang masuk dan melakukan shalat lalu ia datang memberi salam kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab salamnya dan bersabda: 'Kembali! Ulangi shalatmu! Karena kamu belum shalat (dengan benar)!, ... Orang itu melakukan lagi seperti shalatnya yang tadi, lalu ia datang memberi salam kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab salamnya dan bersabda: 'Kembali! Ulangi shalatmu!t Karena kamu belum shalat (dengan benar)!, ... sampai ia melakukannya tiga kali, lalu ia berkata: 'Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran sebagai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, saya tidak sanggup melakukan yang lebih baik dari ini maka ajarilah saya!' Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya: 'Jika kamu berdiri hendak melakukan shalat, takbirlah, baca apa yang mudah (yang kamu hafal) dari Al-Qur`an, kemudian ruku'lah hingga kamu tenang dalam ruku', lalu bangkit hingga kamu tegak berdiri, sujudlah hingga kamu tenang dalam sujud, bangkitlah hingga kamu tenang dalam duduk, lalu lakukanlah hal itu pada semua shalatmu." (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Al-Hakim)
11. Tasyahhud Akhir
Tasyahhud akhir termasuk rukun shalat sesuai hadits dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Tadinya, sebelum diwajibkan tasyahhud atas kami, kami mengucapkan: 'Assalaamu 'alallaahi min 'ibaadih, assalaamu 'alaa Jibriil wa Miikaa`iil (Keselamatan atas Allah 'azza wa jalla dari para hamba-Nya dan keselamatan atas Jibril 'alaihis salam dan Mikail 'alaihis salam)', maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Jangan kalian mengatakan, 'Assalaamu 'alallaahi min 'ibaadih (Keselamatan atas Allah 'azza wa jalla dari para hamba-Nya)', sebab sesungguhnya Allah 'azza wa jalla Dialah As-Salam (Dzat Yang Memberi Keselamatan) akan tetapi katakanlah, 'Segala penghormatan bagi Allah, shalawat, dan kebaikan', ..." Lalu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan hadits keseluruhannya. Lafazh tasyahhud bisa dilihat dalam kitab-kitab yang membahas tentang shalat seperti kitab Shifatu Shalaatin Nabiy, karya Asy-Syaikh Al-Albaniy dan kitab yang lainnya.
12. Duduk Tasyahhud Akhir
Sesuai sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Jika seseorang dari kalian duduk dalam shalat maka hendaklah ia mengucapkan At-Tahiyyat." (Muttafaqun 'alaih)
13. Shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
Sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Jika seseorang dari kalian shalat... (hingga ucapannya beliau shallallahu 'alaihi wa sallam) lalu hendaklah ia bershalawat atas Nabi."
Pada lafazh yang lain, "Hendaklah ia bershalawat atas Nabi lalu berdoa." (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
14. Dua Kali Salam
Sesuai sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "... dan penutupnya (shalat) ialah salam."
Inilah penjelasan tentang syarat-syarat dan rukun-rukun shalat yang harus diperhatikan dan dipenuhi dalam setiap melakukan shalat karena kalau meninggalkan salah satu rukun shalat baik dengan sengaja atau pun lupa maka shalatnya batal, harus diulang dari awal. Wallaahu A'lam.



Sumber artikel :
fdawj.co.nr

Dewan Kehormatan Hakim Dan Komisi Yudisial

PENDAHULUAN
Sebagai salah satu buah dari agenda reformasi nasional tahun 1998, Undang undang Dasar Negara Republik Indonesia telah mengalami perubahan dalam satu rangkaian empat tahap, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 (UUD RI 1945). Salah satu perubahan dari Undang-Undang Dasar 1945 yaitu adanya organ negara yang baru. Dalam Pasal 24B hasil Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kehadiran pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 bisa dikatakan sebagai salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pasal ini menyatakan bahwa susunan, kedudukan, dan keanggotaan komisi yudisial diatur dengan Undang-Undang.
Komisi ini dibentuk melalui Undang-Undang Republik Indonesia nomor 22 tahun 2004 tentang komisi yudisial, sebagai pelaksanaan pasal 24B ayat (4) UUD 1945. Undang-Undang ini mengatur secara rinci wewenang dan tugas komisi yudisial antara lain mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Komisi yudisial juga mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim.

PEMBAHASAN
A. Awal Pembentukan Komisi Yudisial
Dalam pembahasan RUU tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman sekitar 1968, sempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Majelis ini berfungsi memberikan, mempertimbangakan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan para hakim yang diajukan oleh MA maupun menteri kehakiman. Namun dalam perjalanannya, ide tersebut menemui kegagalan dan tidak berhasil dimasukkan dalam UU No 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
Ide tersebut muncul kembali dan menjadi wacana kuat sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim pada 1998-an. Sebagaimana diketahui, pada 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR RI No X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
Tap MPR tersebut menyatakan perlunya segera diwujudkan pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif.
Ternyata, masalahnya tidak sesederhana itu. Setelah adanya komitmen politik untuk memberlakukan penyatuan atap pemindahan kewenangan administrasi, personel, keuangan, dan organisasi pengadilan dari departemen ke MA muncul kekhawatiran baru.
Kekhawatiran lahirnya monopoli kekuasaan kahakiman oleh MA dirasakan pula oleh tim kerja terpadu mengenai pengkajian pelaksanaan Tap MPR No X/MPR/1998 berkaitan dengan pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif (tim kerja terpadu).
Tim yang dibentuk dengan Keppres No 21/1999 dan terdiri atas multistakeholders tersebut merekomendasikan perlunya pembentukan Dewan Kehormatan Hakim (istilah yang mereka gunakan untuk Komisi Yudisial) yang berwenang mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai rekrutmen, promosi, dan mutasi hakim, serta menyusun code of conduct bagi hakim.
Karena itu, hampir seluruh rekomendasi tim tersebut kemudian diadopsi dalam Penjelasan Umum UU No 35/1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

B. Wewenang dan Tugas komisi Yudisial
Dalam menjalankan peranannya sebagai penjaga kekuasaan kehakiman, komisi Yudisial diberikan kewenangan untuk melakukan proses seleksi dan menjaring calon anggota Hakim Agung berkualitas, potensial, mengerti hukum dan profesional. Serta diberi kewenangan menjaga dan menegakkan integritas hakim dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan di Indonesia dan menjaga agar hakim dapat menjaga hak mereka untuk memutus perkara secara mandiri. Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin Komisi Yudisal untuk bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim.
Kewenangan tersebut diatas sungguh sangat terbatas untuk itu diuraikan lagi dalam Pasal 13 a Undang-undang No 22 tahun 2004 yang mengatakan bahwa dalam rangka melaksanakan wewenangnya mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, Komisi Yudisal diberi tugas yaitu (Pasal 14 ayat 1 UU No. 22, 2004): melakukan pendaftaran calon Hakim Agung; melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; menetapkan calon Hakim Agung; dan mengajukan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Selanjutnya untuk melaksanakan peranannya menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim Pasal 13 b Undang-undang No 22 tahun 2004, Komisi Yudisial diberi tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 20 UU No 22, 2004). Disamping itu Komisi yudisial dalam menjalankan peranannya diberi tugas lain yaitu mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/ atau Mahkamah Konstitusi (Pasal 21 UU No 22, 2004).
Komisi Yudisial didalam menjalankan peranannya diberi kewenangan untuk dapat mengusulkan kepada Mahakamah Agung dan/ atau Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran matabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 24 UU No 22, 2004).
Dari beberapa peranannya tersebut diatas khususnya kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung diperkirakan sangat banyak berkaitan dengan proses seleksi dimana penyeleksian dilembagakan dalam suatu lembaga negara. Sudah barang tentu akan berdampak positif terhadap hasil kerja yang diinginkan. Anggota Komisi Yudisial dapat bekerja maksimal dan bersifat mandiri dalam rangka memilih Hakim Agung berkualitas, potensial, menerti hukum dan profesional. Karena anggota Komisi Yudisial lebih mapan dan terjamin, sebab dibentuk berdasarkan undang-undang dasar dan pelaksanaan tugasnya di payungi oleh suatu undang-undang.
Sebaliknya peranan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim terlihat dari usul penjatuhan sanksi seperti teguran tertulis, pemberhentian sementara atau pemberhentian yang dilakukan oleh Komisi Yudisial bersifat mengikat(Pasal 23 (2) UU No 22, 2004). Selanjutnya usul penjatuhan sanksi tersebut diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. Namun, usulan tersebut masih dapat dianulir oleh ketentuan yang berbunyi bahwa hakim yang akan dijatuhi sanksi diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim (Pasal 23 (4) UU No 22, 2004).

C. Pengangkatan dan Pemberhentian Komisi Yudisial
Pengangkatan komisi yudisial, mengacu pada Pasal 26 UU No 22 2004, Untuk dapat diangkat menjadi Anggota Komisi Yudisial harus memenuhi syarat
- warga negara Indonesia
- bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa
- berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 68 (enam puluh delapan) tahun pada saat proses pemilihan
- mempunyai pengalaman di bidang hukum paling singkat 15 (lima belas) tahun
- memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela
- sehat jasmani dan rohani
- tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan
- melaporkan daftar kekayaan.
Dan untuk Anggota Komisi Yudisial memegang jabatan selama masa 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Pasal 29 UU No 22 2004.

Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Komisi Yudisial (Pasal 32 UU No 22, 2004) apabila:
a. meninggal dunia
b. permintaan sendiri
c. sakit jasmani atau rohani terus menerus
d. berakhir masa jabatannya.

Dalam Pasal 33 ayat 1 UU No 22, 2004 disebutkan bahwa, Ketua, Wakil Ketua, Anggota Komisi Yudisial diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden dengan persetujuan DPR, atas usul Komisi Yudisial dengan alasan
- melanggar sumpah jabatan
- dijatuhi pidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
- melakukan perbuatan tercela
- terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya
- melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.

KESIMPULAN
Peranan Komisi Yudisial dalam menjaga kekuasaan kehakiman meliputi pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung, dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Peranan pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung meliputi pendaftaran, penseleksian, penetapan dan pengajuan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan peranan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim adalah pengawasan terhadap perilaku hakim dimana akan menghasilkan dua hal yang berbeda yaitu hal yang negatip berupa pengusulan penjatuhan sanksi, sebaliknya yang positip adalah pengusulan pemberian penghargaan terhadap hakim atas prestasi dan jasanya menegakkan kerhormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Mengingat begitu singkatnya waktu, besarnya beban, dan luasnya cakupan yang diberikan untuk melakukan perannya tersebut diatas diharapkan anggota Komisi Yudisal terdiri dari anggota yang potensial, berkualitas, energik dan berpengalaman. Sehingga anggota Komisi Yudisial dapat menjalankan perannya menjaga kekuasaan kehakiman seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945 dan UU nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

DAFTAR PUSTAKA
http:// io. Ppi-jepang. Org/article.php?id=83
http://aai-dkijakarta.or.id./modules.php?name=news&file=article&sid=225
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1995/08/28/0002.html
Undang-Undang Republik Indonesia No 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

Pengertian, Azas dan Sistem Pewarisan Menurut Hukum Adat

PENDAHULUAN
Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan dalam pembangunan hukum nasional yang enuju kearah unifikasi hukum yang terutama akan dilaksanakan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan.
Salah satu inti dari unsur-unsur hukum adat untuk pembinaan hukum waris nasional adalah hukum waris adat. Oleh karena itu hukum waris adat perlu diketengahkan dengan jalan melakukan penelitian kepustakaan yang ada maupun penelitian di lapangan untuk dapat mengetahui apakah dari sistem dan azas hukum waris adat yang terdapat di seluruh wawasan nusantara ini dapat dicari titik temu dan kesesuaiannya dengan kesadaran hukum nasional.
Apakah azas kesamaan hak yang akan dijadikan landasan ataukah azas kerukunan yang akan digunakan sebagai landasan dalam menentukan hukum waris adat di Indonesia.
Hukum waris bagi bangsa Indonesia tidak berarti waris setelah seseorang pewaris meninggal dunia, melainkan dapat terjadi pewarisan dalam arti penunjukan atau penerusan harta kekayaan pewaris sejak pewaris masih hidup. Demikian corak hukum waris adat bangsa Indonesia yang selama ini berlaku, berbeda dengan hukum waris islam atau hukum waris barat.
Penguraian hukum waris adat ini dimaksudkan untuk dapat memberikan gambaran bagaimana hukum waris adat di Indonesia yang tidak terlepas hubungannya dengan susunan masyarakatnya diberbagai daerah yang berbeda-beda.terutama memberikan uraian mengenai hukum adat yang menyangkut hukum waris itu sendiri serta tentang azas-azas dan sistem hukum waris adat pada umumnya di Indonesia.


PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Hukum Waris Adat
Secara umum, pengertian hukum waris yang didasarkan pada pasal 830 Kitab Undang-Undang hukum perdata dapat dirumuskan sebagai berikut:
Hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana, berhubung dengan meninggalnya seseorang, akhibat-akhibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu: akhibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri maupun dengan pihak ketiga.
Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris. Hukum waris adat sebenarnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya.
Adapun pendapat para ahli hukum adat tentang hukum waris adat adalah sebagai berikut:
Ter Haar menyatakan: Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi.”
Menurut Wirjono, pengertian warisan ialah bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Jadi menurut wirjono, istilah kewarisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu sebagai akhibat dari kematian seseorang. Sehingga waris dapat dilakukan setelah ada orang (pewaris) yang meninggal.
Pernyataan ini bertentangan dengan pendapat Soepomo yang menyatakan: “Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses ini telah mulai dalam waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi akuut oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut”
Dengan demikian hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta tersebut dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris maninggal dunia. Bentuk peralihannya dapat dengan cara penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada waris.

2. Sifat Hukum waris adat
Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan dari uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana di dalam hukum waris islam atau hukum waris barat.
Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik beberapa para waris, ia tidak boleh memiliki secara perorangan, tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati.

B. Azas Pewarisan Menurut Hukum Adat
Dalam hukum waris adat bangsa Indonesia bukan semata-mata terdapat azas kerukunan dan azas kesamaan hak dalam pewarisan, karena berpangkal tolak pada sila-sila pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. maka terdapat juga azas-azas hukum yang terdiri dari:
a. Azas Ketuhanan dan pengendalian diri
Dengan dasar hukum orang berpegang pada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa, karena iman dan taqwanya ia mengendalikan diri menahan nafsu kebendaan dan untuk dapat mengendalikan diri dalam masalah kewarisan, sehingga akan selalu menjaga kerukunan hidup antara para waris dan anggota keluarga dari pertentangan.
b. Azas Kesamaan Hak dan kebersamaan hak
Adanya sikap dalam hukum waris adat sesungguhnya bukan menentukan banyaknya bagian warisan yang harus diutamakan, tetapi kepentingan dan kebutuhan para waris yang dapat dibantu oleh adanya warisan itu. Sehingga pembagian tidak selalu sama hak dan sama banyak bagian pria dan wanita
c. Azas kerukunan dan kekeluargaan
Suatu azas yang dipertahankan untuk tetap memelihara hubungan kekeluargaan yang tentram dan damai dalam mengurus menikmati dan memanfaatkan warisan yang tidak terbagi-bagi ataupun dalam menyelesaikan masalah pembagian pemilikan harta warisan yang dibagi
d. Azas Musyawarah dan mufakat
Dalam mengatur atau menyelesaikan harta warisan setiap anggota waris mempunyai rasa tanggung jawab yang sama dan atau hak dan kewajiban yang sama berdasarkan musyawarah dan mufakat bersama
e. Azas Keadilan dan parimirma
Azas welas kasih terhadap para anggota keluarga pewaris, dikarenakan keadaan, kedudukan, jasa, karya dan sejarahnya. Sehingga walaupun bukan ahli waris namun wajar untuk juga diperhitungkan mendapat bagian harta warisan.

C. Sistem Pewarisan menurut Hukum Adat
Sistem yang digunakan untuk menentukan pewarisan adat di Indonesia bermacam-macam. Penerapan sistem tersebut berhubungan erat dengan adat yang ada di masing-masing daerah adat setempat, sehingga sistem adat masing-masing daerah tidak dapat disamakan antara satu daerah dengan daerah yang lain. Adapun beberapa sistem pewarisan adat yang terdapat di Indonesia antara lain adalah:
1. Sistem Keturunan
Dilhat dari segi garis keturunan maka perbedaan lingkungan hukum adat itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Sistem Patrilinial (kelompok garis kebapakan)
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan. Suku-suku yang bergaris keturunan kebapakan antara lain adalah Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa tenggara, Irian
b. Sistem Matrilinial (kelompok garis keibuan)
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan. Suku-suku yang bergaris keturunan ini adalah minangkabau, enggano.
c. Sistem Parental atau Bilateral (kelompok garis ibu-bapak)
Sistem yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan. Adapun suku yang bergaris keturunan ini adalah Jawa, Sunda, Madura, dan Melayu

2. Sistem Pewarisan Individual
Sistem pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian maka masing-masing waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan dan dinikmati.

3. Sistem Pewarisan Kolektif
Pengalihan kepemilikan harta peninggalan dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap waris berhak untuk mengusahakan menggunakan atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu. Sedangkan cara pemakaiannya diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh semua anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan dibawah bimbingan kepala kerabat.

4. Sistem Pewarisan Mayorat
Sistem pewarisan mayorat sesungguhnya adalah juga merupakan sistem kewarisan kolektif, hanya saja pengalihan harta yang tidak terbagi itu dilimpaahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga.
Sistem mayorat ini ada dua macam dikarenakan perbedaan sistem keturunan yang dianut. Pertama mayoret lelaki yaitu kepemimpinan yang dipegang oleh anak laki-laki tertua seperti berlaku dilingkungan masyarakat adat Lampung. Sedangkan mayorat perempuan yaitu anak tertua perempuan sebagai penunggu harta orang tua seperti berlaku dilingkungan masyarakat adat Semendo Sumatra Selatan.

5. Sistem Pewarisan Islam
Sistem hukum waris yang pelaksanaan dan penyelesaian harta warisan itu apabila pewaris wafat. Sistem ini tidak membedakan kedudukan pria ataupun wanita dalam mendapatkan warisan seperti halnya pada sistem parental dan juga menerapkan sistem individual dalam pembagian harta peninggalan.

6. Sistem Pewarisan Barat
Sistem pewarisan menurut hukum barat yang dimaksud disini adalah sebagaimana diatur dalam KUH Perdata (BW) yang menganut sistem individual, dimana harta warisan jika pewaris wafat harus selekas mungkin diadakan pembagian.
Sistem pewarisan islam dan pewarisan barat dicantumkan dalam makalah ini hanya sebagai tambahan atau pembanding dalam pembahasan sistem pewarisan adat yang ada di Indonesia. Karena sistem pewarisan islam dan barat juga berhubungan erat dengan sistem pewarisan adat di indonesia

KESIMPULAN
Dalam hukum waris adat di Indonesia itu mempunyai corak sendiri berbeda dengan hukum waris islam atau hukum waris barat. Peralihan harta kekayaan pada hukum waris adat tidak memandang pewaris sudah meninggal dunia atau masih hidup. Sehingga hukum waris adat dipandang sebagai peralihan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya tanpa memperhitungkan sudah meninggal atau masih hidupnya pewaris.

Azas-azas dalam hukum waris adat di Indonesia terdiri dari:
1. Azas Ketuhanan dan Pengendalian diri
2. Azas Kesamaan Hak dan kebersamaan Hak
3. Azas Kerukunan dan kekeluargaan
4. Azas Musyawarah dan mufakat
5. Azas Keadilan dan Parimirma

Sistem pewarisan dalam hukum waris adat di Indonesia antara lain:
1. Sistem Keturunan
2. Sistem Pewarisan Individual
3. Sistem Pewarisan Kolektif
4. Sistem Pewarisan Mayorat
5. Sistem Pewarisan Islam
6. Sistem Pewarisan Barat

DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Hasbullah, Pedoman Islam di Indonesia, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 1990
Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: PT. Citra aditya Bakti, 1990
Soekanto, Soejono, et.al., Hukum Adat Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1986
Sudarsono, Hukum Waris Dan Sistem Bilateral, Jakarta: PT. Melton Putra, 1991

Zakat Hasil Bumi Atas Tanah Yang Disewakan

PENDAHULUAN

Zakat adalah ibadah maliyah ijtima’iyah (ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan dan masyarakat) dan merupakan salah satu dari lima rukun islam yang mempunyai status dan fungsi yang penting dalam syari’at islam, sehingga al-Qur’an menegaskan kewajiban zakat bersama dengan kewajiban sholat di 82 tempat (ayat). Dan Allah telah menetapkan hukum wajibnya, baik dengan kitab-Nya maupun dengan sunnah rasul-Nya serta ijma’ dari umatnya.
Sebagaimana kita ketahui zakat hasil bumi berupa tanam-tanaman dan buah-buahan wajib dikeluarkan setiap panen yang sudah mencapai nisabnya (750 kg) yang mana tanaman dan buah-buahan itu ditanam di tanah miliknya sendiri, maka dia wajib mengeluarkan zakat dari hasil tanaman-tanamannya dan buah-buahannya, akan tetapi jika hasil bumi itu ditanam di atas tanah sewaan, maka siapakah yang wajib menzakati hasil bumi yang disewakan tersebut, pemilik tanah atau penyewa tanah? Dan berapakah zakat yang harus dikeluarkan? Dan masalah inilah yang akan kami bahas dalam makalah kami ini.


PEMBAHASAN

Para ulama’ telah sepakat mewajibkan zakat atas hasil bumi berupa tanam-tanaman dan buah-buahan yang sudah mencapai nisabnya (750 kg) pada setiap panen, berdasarkan Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 141:
“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun, delima yang serupa dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berubah, dan tunaikanlah haknya (zakat) pada hari memetik hasilnya”
Dan surat Al-Baqarah ayat 267:
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah(di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu”
Presentasi zakatnya adalah 10% bagi tanah yang tadah hujan, tanpa alat memetik atau tanpa biaya dan 5% bagi tanah yang yang mendapat air dengan alat memetik atau dengan biaya, berdasarkan hadist nabi (dari Ibnu Umar r.a bahwa Nabi saw. Bersabda:
“Tanam-tanaman yang dialiri oleh hujan dan mata air atau air yang datang sendiri, zakatnya sepersepuluh, dan yang dialiri dengan alat penyiram seperduapuluh.”(Hadist riwayat Bukhari dan lain-lain)
Kedu ayat diatas dari surat Al-Baqarah dan Al-An’am menunjukan bahwa semua hasil bumi wajib dizakati tanpa ada terkecuali termasuk pula hasil yang terkena pajak, tanaman keras seperti cengkeh, tanaman hias seperti bunga anggrek, semua jenis buah-buahan dan sayur-sayuran. Dan zakat bumi ini berkaitan dengan masa panennya bukan setahun sekali tetapi bisa lebih dari sekali, jika bisa panen lebih dari sekali setahun dan sebaliknya bisa lebih dari setahun sekali zakatnya, jika tanaman itu panennya lebih dari setahun.
Ulama’ hanya mewajibkan zakat atas empat macam hasil tanam-tanaman dan buah-buahan yang ditetapkan berdasarkan nas itu tidak berarti bahwa selain empat macam hasil bumi tersebut bebas zakat sama sekali. Sebab apabila selain empat macam hasil bumi yang ditetapkan zakatnya berdasarkan nas hadist itu ditanam untuk dijadikan komoditi perdagangan, maka sudah tentu wajib dizakati atas nama perdagangan (2,5% setahun) bukan zakat hasil pertanian/perkebunan, misalnya cengkeh, tebu dan kopi.
Maka dari itu, apabila hasil bumi berupa tanam-tanaman dan buah-buahan ditanam diatas tanah sewaan, siapakah yang wajib menzakati hasil tanah yang disewakan, pemilik tanahkah atau penyewa tanah yang mengeluarkan zakathasil tanahnya? Dalam hal ini ada beberapa pendapat sebagai berikut:
1. Jumhur (kebanyakan) ulama’ berpendapat, jika ada orang yang menyewa sebidang tanah lalu ditanaminya atau dia meminjam tanah kemudian menanaminya dengan tanaman yang berbuah, maka hasil atas tanah itu dikenakan zakat. Kewajiban mengeluarkan zakat dibebankan kepada penyewa atau orang yang meminjam tanah itu, bukan kepada pemilik tanah karena sesungguhnya zakat itu diwajibkan atas tanaman.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT
“dan tunaikanlah haknya di hari memetiknya”. (QS. Al-An’am : 141)
Adalah tidak adil bila kewajiban zakat diberikan kepada pemilik tanah sebab zakat dikenakan atas tanamannya, dengan demikian dia berkewajiban mengeluarkan zakat karena menanami tanahnya. Begitulah keterkaitan antara zakat, tanah, dan tanamannnya.
Mahmud Syaltut memperkuat pendapat jumhur dengan alasan bahwa beban zakat berkaitan dengan hasil tanamannya, sehingga zakatnya itu sebagai pernyataan syukur yang bersangkutan atas hasil tanaman yang baik, selamat dari musibah banjir, hama wereng dan sebagainya.
2. Abu Hanifah berpendapat, pemilik tanah yang berkewajiban mengeluarkan zakatnya, sebab tanah itulah asal mula timbulnya kewajiban zakat, tiada tanah tiada pulahasil tanaman.
Madzab Maliki dan Syafi’i tidak sepakat dengan Abu Hanifah, mereka mengatakan,”kewajiban zakat tanah sewaan dibebankan kepada pihak penyewa karena tanah yang menghasilkan diwajibkan zakatnya sebesar sepersepuluh dan yang menikmati hasil tanah itu adalah pinak penyewa. Oleh karena itu pihak penyewa dibebani untuk membayar zakat sebesar sepersepuluh dan dia dianggap sebagai peminjam, akan tetapi kita harus meminta fatwa imam untuk melaksanakannya karena begitulah makna lahiriyah riwayat yang ada. Bila kewajiban zakat atas penyewa itu akan membawa manfaat yang lebih bagi fakir miskin, kewajiban itu mesti dilaksanakan karena memang begitulah fatwa ulama’ mutaakhirin.
Berkata Ibnu Rusyd,”sebab pertikaian mereka adalah, apakah zakat itu kewajiban tanah atau kewajiban tanaman, ataukah kedua-duanya, yakni tanah dan hasilnya. Nampaknya Jumhur melihat kepada harta benda yang wajib dizakati, ialah berupa hasil tanaman itu, sedangkan Abu Hanifah melihat kepada harta benda yang menjadi asal mula timbulnya kewajiban zakat yaitu tanah”. Maka dari itu Ibnu Qudamah memandang pendapat jumhur lebih kuat, katanya,”zakat itu wajib pada tanaman, maka terpikullah atas si pemilik tanaman itu, seperti menzakatkan uang sebagai harga dari barang dagangan, dan mengeluarkan tanaman hasil tanah kepunyaan sendiri.
Jalan yang baik dan aman dalam pandangan agama adalah zakat dikeluarkan oleh pemilik tanah dan penyewa walaupun jumlah yang dikeluarkan tidak sama besarnya. Mungkin si pemilik tanah yang lebih besar atau sebaliknya atas kesepakatan bersama pada saat di buat perjanjian sewa-menyewa, dapat juga dengan cara bahwa pemilik tanah mengeluarkan zakat dari hasil sewanya bila telah mencapai nisab, demikian juga penyewa tanah mengeluarkan zakat dari hasil tanah yang dikelolanya, dengan jalan ini baik pemilik tanah maupun penyewanya telah bersih jiwanya atau dirinya. Begitu pula dengan harta yang diperoleh pemilik tanah (sewanya) dan penyewa (hasil tanah yang diolah) telah bersih dari hak orang lain didalamnya. Dengan cara ini tidak ada helah atau upaya dari masing-masing pemilik dan penyewa membebaskan diri dari kewajiban zakat, namun kuncinya sangat tergantung kepada kesadaran kedua belah pihak.
Akan tetapi dari pendapat-pendapat dan pandangan-pandangan di atas bahwa yang berhak mengeluarkan zakatnya adalah penyewa tanah atau yang memiliki tanaman tersebut yang mana sesuai dengan pendapat jumhur yang lebih kuat yang dikemukakan oleh Ibnu Qudamah dan juga pendapat yang dikemukakan oleh Imam Malik, Imam Syafi’I, ats-Tsauri Ibnu’i-mubarak, Abu Tsaur dan golongan fuqaha’ lainnya. Sedangkan zakat yang harus dikeluarkan darinya ialah 10% atau 5% tergantung dari tanahnya apa diairi dengan alat mekanik (dengan biaya) atau tidak, sesuai dengan apa yang telah ditetapkan/disepakati para ulama’ berdasarkan hadist Nabi.


KESIMPULAN

Maka dari itu kami menyimpulkan zakat hasil bumi (tanah) berupa tanam-tanaman ataupun buah-buahan apabila ditanam diatas tanah sewaan yang wajib megeluarkan zakatnya adalah penyewa tanah bukan pemilik tanah sesuai dengan isi dari pembahasan makalah kami dan diperkuat dengan pendapat-pendapat ulama’, karena zakat itu akan membawa manfaat yang lebih bagi fakir miskin dan kewajiban itu harus dilaksanakan atau zakatnya dikeluarkan oleh pemilik tanah dan penyewa sesuai atas kesepakatan bersama pada saat dibuat perjanjian sewa-menyewa.
Sedangkan zakatnya yang harus dikeluarkan sebesar 10% (sepersepuluh) apabila diairi tanpa mmenggunakan alat atau tanpa biaya dan 5% (seperduapuluh)apabila diairi dengan menggunakan alat atau dengan air yang dibeli.


DAFTAR PUSTAKA

Mas’ud, Ibnu, Abidin, Zaenal, Fiqih madzhab syafi’I buku 1 ibadah, Bandung: Pustaka Seta, 2005

Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994

Hasbi, T.M. Ash Shiddiqy, Pedoman Zakat, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2002

Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Malang: Toko Gunung agung, 1994

Jarimah Qishash Dan Diyat

PENDAHULUAN

Jarimah merupakan ilmu tentang hukum yang berkaitan dengan perbuatan tindak pidana dan hukumannya, misalnya pembunuhan, merusak atau menghilangkan anggota tubuh orang lain. Sedangkan untuk hukuman yang dikenakan terdapat tingkatan-tingkatan yang terperinci misalnya pada kasus pembunuhan. Tingkatan-tingkatan hukuman ini disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang dilakukan.
Dalam islam melakukan tindak pidana dapat dikenakan sanksi sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan. Hal ini yang sering disebut dengan qishash. Selain itu juga ada hukuman yang mewajibkan pihak terpidana untuk membayar denda kepada pihak yang teraniaya dan hal ini sering disebut dengan diyat.
Dalam makalah ini akan dibahas dimana qishash adalah hukuman yang secara aplikasinya harus dilaksanakan balasan yang setimpal atau seimbang dengan nilai yang dilakukan pembunuh, apabila hukuman itu tidak dapat dilakukan atas dasar alasan tertentu maka dapat diganti dengan hukuman diyat yaitu membayar denda dari perbuatan pembunuhan dengan persetujuan ahli waris dari korban.


PEMBAHASAN

A. Pengertian
1. Pengertian Jarimah
Di dalam hukum pidana islam ada dua kata ynag mempunyai makna yang hampir sama namun sesungguhnya berbeda yaitu kata jinayah dan jarimah. Menurut pengertian yang penulis pahami, jinayah adalah delik yang berkaitan dengan perlukaan terhadap anggota tubuh sedangkan jarimah adalah semua tindak kejahatan. Dalam Al Qur’an istilah yang digunakan untuk tindak pidana adalah jarimah dan bukan jinayah.
Pengertian jarimah yang dikemukakan oleh Imam Al Mawardi adalah:
الجرائم محظورات شرئية زجر الله تعالى عنها بحد او تعزير
“Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had dan ta’zir”
2. Pengertian Qishash
Qishash berasal dari kata “qaseha” yang artinya dia memutuskan atau dia mengikuti jejak buruannya, dan karenanya ia bermakna sebagai hukum balas (yang adil) atau pembalasan yang sama atas pembunuhan yang telah dilakukan. Pengertian tersebut digunakan untuk arti hukuman, karena orang yang berhak atas qishash mengikuti dan menelusuri tindak pidana pelaku. Qishash juga diartikan keseimbangan dan kesepadanan. Sehingga qishash dapat diartikan memberikan balasan kepada pelaku kejahatan sesuai dengan kejahatan yang telah diperbuatnya itu.
3. Pengertian Diyat
Hukuman qishash untuk pembunuhan sengaja adalah hukuman pokok. Apabila hukuman tersebut tidak dapat dijalankan, karena sebab-sebab yang dibenarkan oleh syara’ maka hukuman penggantinya adalah hukuman diyat untuk qishash.
Kata Ad Diyat dengan tanpa tasydid “ya” adalah jamak dari kata “diyah” asal kata diyah itu adalah widyun dengan kasrah “waw”, masdar dari kata “wada” misalnya dalam kalimat “wadal Qatila yadi-hi” apabila diberikan dendanya kepada walinya. Kata “widyun” dibuang fa’ul kalimat lalu diganti “ta” ta’nits sehingga menjadi diyah.
Diyat adalah harta benda yang wajib diyunaikan oleh sebab tindak kejahatan, kemudian diberikan pada si korban kejahatan atau walinya.

B. Dasar Hukum Qishash dan Diyat
1. Dasar Hukum Qishash
Para ulama’ dalam hal ini mengambil rujukan untuk menyandarkan hukum qishash. Sebagaimana dalam firman Allah SWT antara lain:
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al Baqarah: 178)
Dalam ayat ini, islam telah mengurangi kengerian. Pembalasan dendam yang yang berkesumat dan bahkan lebih. Kesamaan dalam pembalasan ditetapkan dengan rasa keadilan yang ketat, tetapi ini memberikan kesempatan jelas bagi perdamaian dan kemampuan.
Menurut ayat ini bahwa masalah balas bunuh itu ada beberapa macam
a. Seorang laki-laki merdeka kalau membunuh seorang laki-laki merdeka, maka wajib dia dibunuh
b. Seorang hamba jika membunuh seorang hamba maka wajib dia dibunuh
c. Seorang perempuan merdeka jika dia membunuh seorang perempuan merdeka maka wajib dai dibunuh
d. Seorang hamba jika membunuh seorang merdeka, maka wajib dia dibunuh serta tuannya wajib memberi diyat kepada waris orang merdeka yang terbunuh itu
e. Seorang merdeka jika membunuh seorang hamba, maka wajib dia dibunuh tetapi tuan dari si hamba harus membayar diyat kepada waris si merdeka yang dibalas bunuh itu
f. Seorang perempuan jika membunuh seorang laki-laki merdeka, maka wajib dia dibunuh serta waris si wanita itu wajib membayar diyat kepada waris si laki-laki yang terbunuh itu
g. seorang laki-laki merdeka kalau membunuh seorang perempuan, maka dia wajib dibunuh, tetapi waris si perempuan itu wajib memberi diyat kepada waris si laki-laki yang di balas bunuh itu
Barang siapa mendapatkan sebagian pengampunan dari pihak waris si mati maka lepas dia dari hukum balas bunuh. Tetapi dia wajib menyerahkan diyat kepada ahli waris si mati. Karena itu merupakan satu kelonggaran dan rahmat dari Allah. Sehingga jika melanggar batas (melakukan pembunuhan lagi) maka niscaya akan mendapat siksa yang pedih di akhirat.
“Dan tentang (menjalankan hukuman) qishash itu ada (keselamatan) nyawa buat kamu, hai orang-orang yang mempunyai fikiran. Supaya kamu terpelihara (dari pada kejahatan)”
Allah memberikan hukuman yang berat untuk menjaga keselamatan dan ketentraman umum. Memang hukuman terhadap orang salah terutama adalah untuk menakut-nakuti masyarakat, agar jangan terjadi lagi perbuatan seperti itu. Hal inilah salah satu bukti bahwa kecintaan dan keadilan Allah dalam mejaga umat manusia agar dapat hidup rukun dan sejahtera. Sehingga semua hal yang kelihatannya menakutkan bukan berarti itu akan merusak peradaan manusia.

“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishashnya. Barang siapa yang melepaskan (hak qishash) nya maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, mereka itu adalah orang-orang zalim” (QS Al-Maidah:45)
Sedangkan hadist nabi yang digunakan sebagai rujukan sebagai dasar hukum jarimah qishash adalah dari Ibnu Mas’ud ia berkata: telah bersabda rasullulah saw: “tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya saya rasullulah, kecuali dengan salah satu dari tiga perkara: duda yang berzina(zina muhshan), membunuh jiwa, dan orang yang meninggalkan agamanya yang memisahkan diri dari jama’ah.” Muttafaqun alaih

2. Dasar Hukum Diyat
Untuk dasar hukum dari diyat kita dapat menyimak sebagaimana yang telah difirmankan Allah dalam surat An Nisa’ ayat 92

“...... dan barang siapa membunuh orang mukmin dengan tiak sengaja, maka hendaklah dia memerdekakan seorang hamba yang mukmin (kafarat) serta membayar denda (diyat) kepada keluarga yang telah terbunuh kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) bersedekah.” (QS An Nisa’: 92)

C. Pandangan dalam perspektif syariat Islam
Perbuatan membunuh orang adalah sebesar-besar dosa selain ingkar, maka oleh karena kejinya perbuatan ini, juga untuk menjaga keselamatan dan ketentraman umum. Allah yang maha Adil dan Mengetahui memberikan balasan yang layak (setimpal) dengan kesalahan yang besar itu, yaitu hukum berat di dunia atau dimasukkan ke dalam neraka nanti di akhirat
Dalam firman Allah yang tercantum dalam Al Qur’an

“Barang siapa membunuh orang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahanam, kekal ia didalamnya, Allah murka kepadanya, serta dikutukiNya dan disediakan-Nya siksa yang berat”. (QS An Nisa’: 93)
Selain itu juga dijelaskan dalam surat Al Baqarah: “Hai orang orang yang beriman, diwajibkan atas kamu melakukan qishash (balasan yang sama dengan perbuatan) sebab membunuh orang” (QS Al Baqarah: 178)
Bagi orang yang membunuh tergantung tiga macam hak terhadapnya yaitu hak Allah, hak ahli waris dan hak yang telah dibunuh. Apabila dia tobat dan menyerahkan dirinya kepada ahli waris (keluarga yang dibunuh) maka ia terlepas dari hak Allah dan hak ahli waris

D. Macam-macam Qishash
Dalam buku yang berjudul The Islamic justic system pada bagian Quesas Crimes disebutkan pembagian qishash sebagai berikut:
1. Pembunuhan
2. Pembunuhan serupa dengan pembunuhan disengaja
3. Pembunuhan tidak sengaja
4. Pemutungan atau perlukaan tubuh dengan sengaja
5. Pemutungan atau perlukaan tubuh dengan tidak sengaja
Untuk secara praktisnya qishash dikategorikan menjadi dua yaitu pembunuhan dan deretan. Dalam pembunuhan baik disengaja maupun yang tidak disengaja dijadikan dalam satu kategori meskipun dalam qishash sanksinya berbeda. Dan yang berhak mengajukan tuntutan adalah wali korban (dalam pembalasan darah) dan kerabat dekat menurut hukum waris. Karena qishash mempertimbangkan pelanggaran hak dari individu serta menjadi dasar untuk memenuhi dan mengganti kerugian korban atau keluarganya.
Sedangkan yang masuk dalam kategori deretan adalah kejahatan badan yang serius atau luka permanen pada seseorang. Dan selain itu teknik pemeriksaan badan juga termasuk pada kategori deretan.
Dalam pelanggaran pembunuhan yang dilarang dapat dibagi menjadi beberapa bagian:
1. Menurut Imam Malik, pembunuhan dibagi menjadi dua:
 Pembunuhan sengaja
 Pembunuhan karena kesalahan
2. Menurut Jumhur Fuqaha, pembunuhan dibagi menjadi tiga
 Pembunuhan sengaja
 Pembunuhan menyerupai sengaja
 Pembunuhan karena kesalahan
Sedangkan pembunuhan menurut fuqaha yang digariskan ada dua macam bila dipandang melalui unsur-unsur pembunuhannya:
1. Pembunuhan yang dilarang, yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan melawan hukum
2. Pembunuhan dengan hak, yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan tidak melawan hukum seperti membunuh orang murtad, atau pembunuhan yang dilakukan oleh algojo yang diberi tugas melakukan hukuman mati, seperti hukuman potong leher (pancung).
Pada kasus pembunuhan yang disengaja, pembunuh wajib di qishash kecuali jika dimaafkan oleh ahli waris yang terbunuh dengan membayar diyat (denda) atau dimaafkan sama sekali.
Sedangkan pembunuhan yang menyerupai (seperti disengaja) seperti sengaja memukul orang tetapi dengan alat yang tidak mematikan, kemudian orang tersebut mati karena pukulan tersebut. Dalam hal ini tidak wajib qishash hanya mewajibkan membayar diyat (denda) yang berat atas keluarga yang membunuh, diangsur dalm tiga tahun.
Pada pembunuhan karena tidak sengaja misalnya seseorang melontarkan sesuatu barang yang tidak disangka akan kena orang lain sehingga menyebabkan orang itu mati. Hukum pembunuhan initidak wajib qishash, hanya wajib membayar denda (diyat) yang ringan.
Dalam kejahatan badan yang serius atau perlukaan permanen terhadap seseorang ini juga telah dijelaskan dalam Al Qur’an surat Al Maidah ayat 45 bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishashnya. Barang siapa yang melepaskan (hak qishash)nya maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.
Dalam ayat ini sudah diterangkan dengan jelas bahwa semua tindak kejahatan terhadap bagian tubuh ada balasannya (qishash) yang akan dikenakan terhadap orang yang melakukan kejahatan tersebut. Selama luka atau kerugian akhibat kejahatan yang ditimbulkan dapat diukur dan dihitung. Jika luka yang ditimbulkan tidak dapat dihiting maka akan diberlakukan hukum diyat.
Dalam tindak kejahatan terhadap anggota badan ini (selain jiwa) dapat dikasifikasikan menjadi beberapa bagian:
1. Penganiayaan terhadap anggota badan atau semacamnya
Tindakan perusakan terhadap anggota badan dan anggota lain yang disetarakan dengan anggota badan baik berupa pemotongan atau perlukaan.
2. Menghilangkan manfaat anggota badan sedangkan jenisnya masih tetap utuh
Tindakan yang merusak dari manfaat anggota badan, sedangkan jenis anggota badannya masih utuh. Yang termasuk dalam golongan ini adalah menghilangkan daya pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan lidah, kemampuan berbicara, bersetubuh dan lain-lain
3. Asy-Syajjaj
Perlukaan khusus pada bagian muka dan kepala
4. Al-Jirah
Perlukaan terhadap anggota badan selain wajah, kepada dan athraf
5. Tindakan selain yang tersebut di atas
Yang termasuk dalam golongan ini adalah setiap tindakan pelanggaran yang tidak sampai merusak athraf atau menghilangkan manfaatnya, dan tidak pula menimbulkanluka. Sebagai contoh dapat dikemukakan, seperti pemukulan pada bagian muka atau bagian badan tetapi tidak sampai menimbulkan luka melainkan hanya memar, muka merah atau terasa sakit.
Sedangkan dalam buku “The Penal Law of Islam” pada bagian kesebelas pembagian qishash terhadap tindak kejahatan terhadap anggota badan (selain jiwa) terhadap jenis hukuman yang dikenakan dibedakan menjadi:
1. Untuk anggota tubuh yang tunggal seperti hidung, hukum yang dikenakan adalah hukum darah (qishash), seperti pada kasus pembunuhan
2. Untuk anggota tubuh yang berpasangan seperti tangan, hukum yang dikenakan setengah dari hukum darah (qishash)
3. Untuk anggota tubuh yang terdiri dari sepuluh seperti jari tangan, hukum yang dikenakan adalah persepuluh dari hukum darah (qishash)
4. Hukuman terhadap penganiayaan atau perlukaan wanita yang sehat adalah setengah dari hukuman penganiayaan atau perlukaan terhadap laki-laki
5. Untuk penganiayaan terhadap seorang budak, hukum yang dikenakan sesuai dengan nilai budak tersebut
6. Selain dari lima golongan diatas atau penyengsaraan terhadap hidup hukum yang digunakan adalah hukum darah (qishash)

E. Hukuman Qishash Dapat Diganti Dengan Diyat
Diyat dalam pembunuhan yang disengaja merupakan bukan hukuman pokok, melainkan hukuman pengganti dari qishash jika qishash tidak dapat dilaksanakan atau dihapuskan dengan sebab-sebab tertentu, misalnya karena hal tersebut dikehendaki oleh ahli waris yang terbunuh.
Jenis hukuman yang dibayar dengan diyat menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik ada tiga, yaitu 100 ekor unta, 1000 dinar dalam emas atau 12 ribu dirham dalam perak. Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan qoul qodim sama dengan pendapat Imam Abu hanifah dan Imam Malik. Namun dalam qoul Jadid yang merupakan diyat adalah unta saja, sementara emas dan perak hanyalah diqiyaskan pada harga pasaran unta tersebut.
Adapun para pengikut mazhab Hanafi mengatakan, bahwa diyat bisa diperpanjang waktu pembayarannya dalam masa tiga tahun, hal ini diperlakukan untuk pembunuhan selain bermotivasi sengaja.
Hukuman pembunuh dapat dilihat pada proses pembunuhan yang dilakukan, maka ulama’ fuqaha berpendapat serta diyat yang harus dikeluarkan adalah sebagai berikut:
1. Pembunuhan dengan sengaja
Diyat (denda) yang harus dikeluarkan oleh pembunuh ini, menurut para pakarfiqh dapat dibagi menjadi empat
a. 25 ekor unta jantan yang berumur 2 tahun
b. 25 ekor unta betina yang berumur 3 tahun
c. 25 ekor unta jantan yang berumur 1 tahun
d. 25 ekor unta betina yang berumur 2 tahun
Hal diatas adalah menurut versi kitab al Mughni oleh Abi Muhammad bin Ahmad juz VII, sedang dalam kitab Bulughul maram disitu ditambahkan dengan jumlah yang sama, namun unta jantan yang berumur empat tahun

2. Pembunuhan menyerupai sengaja
Diyat yang harus dikeluarkan oleh orang yang melakukan pembunuhan ini sama dengan sengaja namun dalam tiap tahunnya membaya sepertiga unta dalam waktu tiga tahun
3. Pembunuhan karena kesalahan
Diyat yang harus dikeluarkan disini dapat dibagi dalam tiga tahun
a. 20 ekor unta betina yang berumur 2 tahun
b. 20 ekor unta jantan yang berumur 2 tahun
c. 20 ekor unta betina yang berumur 3 tahun
d. 20 ekor unta jantan yang berumur 3 tahun
Diyat untuk selain jiwa juga dibeda-bedakan. Bilamana seseorang merusak anggota tubuh tunggal atau yang berpasangan, maka ia wajib membayar diyat sepenuhnya. Jika merusak salah satu anggota tubyh tang berpasangan maka membayar diyat setengah. Hal ini juga berlaku pada tiap ruas jari yang diyatnya adalah pertigapuluh tiap ruas jari.
Diyat merusak manfaat anggota tubuh juga berbeda-beda sesuai dengan anggota tubuh tunggal atau anggota tubuh berpasangan seperti halnya diyat organ tubuh di atas.
Untuk diyat seorang wanita adalah setengah dari diyat seorang laki-laki. Sedangakan diyat untuk janin yang mati dalam kandungan karena tindakan kejahatan yang menimpa ibunya, baik secara sengaja maupun kesalahan, dan ibunya tidak mati maka wajib diyat baginya. Bila janinnya laki-laki maka diyatnya adalah seratus ekor unta dan bila perempuan diyatnya lima ratus ekor unta.

KESIMPULAN

Qishash adalah hukuman atau pembalasan sepadan yang diberikan kepada tindak pidana yang diperbuat. Sedangkan diyat adalah pemberian suatu harta benda dengan ketentuan tertentu yang diberikan kepada pihak ahli waris orang yang telah teraniaya sebagai ganti atas qishash yang telah ditangguhkan karena sebab yang diperbolehkan syara’.
Qishash dalam pembagiannya dapat dibedakan menjadi:
4. Pembunuhan
5. Pembunuhan serupa dengan pembunuhan disengaja
6. Pembunuhan tidak sengaja
7. Pemutungan atau perlukaan tubuh dengan sengaja
8. Pemutungan atau perlukaan tubuh dengan tidak sengaja

Sedangkan pembagian diyat di bagi menjadi dua yaitu:
1. Diyat ringan
2. Diyat berat

DAFTAR PUSTAKA


A. Hasan, tafsir Al Furqon,Jakarta:guru persatuan islam,1978

Abdur Rahman, Shari’ah The Islamic Law, Kuala Lumpur: A.S Noordeen, 1984

Abi Muhammad bin Ahmad, Al Mughni, juz VII Dar Al Fikr

Abu Al-Hasan Al Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, mesir, cet III, 1975,

Al-Astqolany, Bulughul Maram, Dar al Kutub al fikr, Beirut

Bassiouni, M Cherif, The Islamic Criminal Justic System, oceana publication.inc, london: rome newyork

H Sulaiman Rasjid, Al-Fiqh Al Islam, Bandung: Sinar Baru, 1990

Hasbi ash-Shidiqi dkk, 1971, Al Qur’an dan Terjemahnya, Madinah: Mujamma’ khadim al-haramain asy-syarafain

Ibnu Hajar, al Asqalani, Bulughul Al Maram Min Adilat Al-Ahkam, Beirut: Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra

Iqbal Siddiqi, M., The Penal Law Of Islam, (Delhi: Shah Offset Printer, 1994)

Schacht Joseph, An Introduction To Islamic Law, Oxfort At The Clarendon Press, London

Sayyid Sabiq, Fiqhussunah, juz III, Beirut: Dar al-Fikr, 1997

Perkawinan Wanita Hamil Menurut Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia

A. Dasar Landasan dalam Al Qur’an
Firman Allah dalam Surat An Nur: 3 yang artinya:
"Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina, atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min". (QS. 24:3).
Para ulama tafsir berselisih pendapat dalam memahami Surat An-Nur 24:03 ini. Sebagian pendapat menyatakan keharaman nikah dengan pezina selain pezina lainnya. Namun sebagian lainnya hanya menganggap sebagai anjuran saja. Sebagai orang muslim/muslimah yang baik tentunya tidak rela dirinya membangun rumah tangga dengan pazina.
Selain itu Firman Allah yang mendasari kawin hamil adalah Al Qur’an Surat At-Thalaq: 24 yang artinya:
“Dan perempuan-perempuan yang mengandung itu iddah mereka ialah hingga mereka melahirkan kandungan mereka”
Dan dari Surat inilah terjadi perbedaan pandangan mengenai perkawinan wanita hamil yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bab selanjutnya.

B. Pandangan dari Para Ulama’ Mazhab
Menurut pendapat mazhab hambali gadis hamil tidal boleh dinikahi oleh siapa saja termasuk laki-laki yang menghamilinya. Kecuali setelah menyelesaikan iddahnya. Sedangkan iddah seorang wanita yang hamil adalah setelah wanita tersebut melahirkan anaknya. Dalam hal ini, mazhab hambali mempunyai pandangan yang sangat keras. Hal ini dilandaskan pada firman Allah surat At-Thalaq: 24 yang sudah tercantum di atas.
Pandangan ini berbeda dengan ajaran mazhab Syafii mengenai Surat At-Thalaq yang menyebutkan perempuan hamil yang tidak pernah bersuami, dihukumkan hamilnya itu bukan hamil iddah. Hamil iddah hanyalah hamilnya seorang janda yang suaminya mati setelah dia hamil, atau ketika dia ditalak oleh suaminya ternyata dia hamil. Adapun gadis hamil karena dia tidak pernah menikah, maka mereka tidak mempunyai masa iddah, setiap saat dia bisa menikahi laki-laki yang melamarnya.
Pandangan mazhab syafii itu disetujui oleh dua mazhab lainnya yaitu mazhab Hanafi dan Maliki dengan sedikit perbedaan syaratnya. Menerut syafii semua laki-laki boleh menikahi gadis hamil itu, dan setelah menikah boleh menggaulinya walaupun laki-laki itu bukan yang menghamilinya. Menurut Hanafi jika yang menikahi gadis hamil itu bukan laki-laki yang menghamilinya, nikahnya sah tetapi tidak boleh menggaulinya hingga istrinya itu melahirkan kandungannya yang berasal dari laki-laki lain itu. menurut jumhur Maliki hanya laki-laki yang menghamilinya yang boleh menikahinya, dan apabila telah dinikahinya sahlah pergaulannya seperti suami-istri yang lain (tidak lagi berzina seperti pergaulannya selama ini sebelum pernikahannya itu.
Adapun ujjah ilmiah mengenai hal itu pernah dikemukakan dalam pertemuan para sarjana fiqih islam dalam Pendidikan Post graduate mereka di Institut Agama Islam Negeri di Yogyakarta yang dipimpin oleh Prof. Dr. Hasby Asshiddiqy. Jawaban Prof. Hasby atas masalah tersebut termuat dalam buku “kumpulan soal jawab” terbitan penerbit bulan bintang terbitan tahun 1973 hal 19 adalah:“jumhar ulama’ syafiiyah, malikiyah dan hanafiyah membolehkan seseorang mengawini wanita hamil, baik yang dihamili sendiri atau dihamili orang lain, karena wanita itu bukan isteri seseorang, dan tidak dalam beriddah dari seseorang. Hanya golongan hanafi berpendapat, bahwa: jika yang mengawini itu sipenghamilnya sendiri, maka suami itu boleh terus menyetubuhinya. Jika orang lain yang menikahinya, maka tidak boleh disetubuhi sebelum wanita itu melahirkan untuk memelihara keturunan.”
C. Perkawinan Wanita Hamil Dalam KHI
Tentang hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu merupakan dosa besar. Persoalannya adalah bolehkah menikahkan wanita yang hamil karena zina? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak memperbolehkan, ada pula yang menekankan pada penyelesaian masalah tanpa mengurangi kehati-hatian mereka. Sejalan dengan sikap para ulama itu, ketentuan hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan masyarakat yang sopan dan memberikan ketenangan dan rasa aman. Patuh terhadap ketentuan hukum Islam, insya Allah akan mewujudkan kemaslahatan dalam masyarakat.

Dalam Impres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), dalam pasal 53 Kompilasi hukum islam Buku I tentang Perkawinan pada bab VIII mengenai Kawin Hamil telah dijelaskan dalam tiga ayat yaitu:
1. seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Persoalan menikahkan wanita hamil apabila dilihat dari KHI, penyelesaiaanya jelas dan sederhana cukup dengan satu pasal dan tiga ayat. Yang menikahi wanita hamil adalah pria yang menghamilinya, hal ini termasuk penangkalan terhadap terjadinya pergaulan bebas, juga dalam pertunangan. Asas pembolehan pernikahan wanita hamil ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepastian hukum kepada anak yang ada dalam kandungan, dan logikanya untuk mengakhiri status anak zina.

KESIMPULAN

Dari penjelasan yang tertera diatas baik berupa perbedaan pendapat serta pemikiran dari masing-masing mazhab yang melandasi pemecahan permasalahan yang kita bahas ini yaitu tentang pernikahan wanita hamil serta dari ketetapan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang menyangkut perkawinan baik berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Kompilasi Hukum Islam yang telah didiskusikan oleh para ulama’. Maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan wanita hamil sah hukumnya dan diperbolehkan di indonesia. Hal ini diatur dengan jelas pada Kompilasi Hukum islam (KHI) dalam pasal 53 Kompilasi hukum islam Buku I tentang Perkawinan pada bab VIII mengenai Kawin Hamil telah dijelaskan dalam tiga ayat.


DAFTAR PUSTAKA

Bakry Hasbullah, Pedoman Islan di Indonesia, Jakarta: UI Press,1998

http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=974<emid=30

http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?searchword=perkawinan+wanita+ha&option=com search<emid=

Abdurrahman, Kompilasi hukum islam di indonesia, Jakarta: Akademika Presindo, 2004