Laman

Sabtu, 30 Juli 2011

Apakah Benar Terjadi Distorsi Positivisme?

Dalam istilah positivisme, paling tidak mengacu pada dua hal yaitu, teori pengetahuan dan teori tentang perkembangan sejarah manusia. Sebagai teori pengetahuan, istilah positivisme biasanya didefinisikan sebagai salah satu paham dalam filsafat barat yang hanya mengakui dan membatasi pengetahuan yang benar kepada fakta-fakta positif, dan fakta-fakta tersebut harus didekati dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan yakni eksperimentasi, observasi dan komparasi. Fakta positif adalah fakta yang sungguh-sungguh nyata, pasti, berguna, jelas, dan yang langsung dapat diamati dan dibenarkan oleh setiap orangyang mempunyai kesempatan sama untuk mengamati dan menilainya.
Sehingga setiap metode ilmu pengetahuan yang tidak mendasarkan pada fakta positif seperti kejadian yang bersifat khayal, meragukan, ilusi, dan kabur, serta mendekatinya tidak dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan, hanya dianggap sebagai fantasi atau spekulasi liar. Jenis pengetahuan inilah yang menurut comte terdiri dari teologi dan metafisika.
Pada tahap positif, gejala dan kejadian alam tidak lagi dijelaskan secara a priori, melainkan berdasarkan pada observasi, eksperimen dan komparasi yang ketat dan teliti. Akal pun tidak lagi berorientasi pada pencarian sebab pertama dan tujuan akhir dari kehidupan. Karena akal mencoba mengobservasi gejala dan kejadian secara empiris dan hati-hati untuk menemukan hukum-hukum yang mengatur gejala dan kejadian itu.
Dalam ulasannya mengenai dinamika social dalam masyarakat positif, Auguste Comte dengan penuh optimisme menguraikan fungsi lain dari ilmu pengetahuan positif.
“ bahwa semua kaakteristik dari positivisme pada dasarnya bisa dirumuskan ke dalam satu motto: ketertiban dan kemajuan, sebuah motto yang mempunyai dasar-dasar filosofis, di samping politis. Positivisme adalah satu-satunya mazhab yang memberikan makna menentukan pada konsepsi-konsepsi tersebut, baik dipandang dari aspek ilmiahnya maupun dari aspek sosialnya.”
Dilain tempat, Comte menegaskan secara berulang-ulang bahwa ilmu pengetahuan positif pun mampu membebaskan manusia dari perasaan terkukung oleh kekuatan magis akibat pandangan teologis. Semakin tampak bahwa meningkatnya semangat ilmiah mencegah kita untuk tetap mempertahankan semangat teologis. Selain itu, semangat industrial yang semakin meningkat merupakan penyelamat terbaik dari kambuhnya semangat militer dan feudal, menurut Comte.
Tetapi, itu pandangan Comte terhadap Positivisme. Namun dalam kenyataannya terdapat beberapa permasalahan yang ada pada positivisme. Dalam didang pembangunan misalnya, jika ilmu pengetahuan merupakan satu-satunya motor penggerak kemajuan, dan industrialisasi merupakan wujud nyata dari kemajuan, maka bangunan fisik material pada akhirnya merupakan tolok ukur dari keberhasilan dan kemajuan pembangunan. Orientasi utama pembangunan, dengan demikian adalah pembangunan fisik material, sedangkan pembangunan mental spiritual diandaikan dengan sendirinya akan mengikuti pembangunan fisik material.
Hal yang sama dalam kehidupan manusia yang dimaterialisasikan. Orientasi manusia ditujukan pada mendapatkan sebanyak-banyaknya kekayaan material. Maka, konsekuensi etis dan psikologisnya pun bisa kita saksikan dalam masyarakat kita. Pertama, kebutuhan manusia digiring pada orientasi tujuan sehingga masalah etika dan moral menjadi marginal. Tujuan hidup bukan pada kebahagiaan dan kenikmatan kerja, melainkan pada perolehan sebanyak-banyaknya hasil dalam waktu yang singkat. Sehingga jalan pintas dan perilaku amoral dipermaklumkan dalam masyarakat.
Bagaimana nasib penelitian ilmu sosial yang corak epistimologis dan metodelogisnya terhegemoni cara pandang positivistik? Pertanyaan tragis, ketika sesuatu yang bersifat konteks dan heterogen harus direduksi dengan data kuantitatif, diisolasi dengan konteks historis dan struktural, sehingga lahir kebenaran ilmiah. Padahal positivistik muncul dari metode ilmu alam yang bersandar pada prinsip verifikasi dan observasi. Ironisnya, metode ini menjadi model untuk hampir ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sosial.
Kajian ilmu sosial seharusnya tidak berhenti pada prinsip linier dalam mengungkap fenomena, tetapi harus diletakan pada wilayah sosial yang lebih luas sebagai bagian dari dialektika. Artinya seorang peneliti ilmu sosial tidak boleh berhenti pada fakta, namun harus menjelaskan makna di balik fakta. Jika dikaitkan dengan teks sebagai representasi fakta, maka haruslah diungkap konteks historis teks sehingga melahirkan pemahaman yang menyeluruh.
Sedangkan dari sisi konteks agama, Posotivisme hanya memandang teks-teks Kitab Suci secara legal formal, tanpa mau melihat lebih rinci asbab al nuzul, historycal, kontekstual, dan suasana kebatinan yang timbul dan mempengaruhi lahirnya suatu teks. Padahal suatu teks Kitab Suci itu turun, pastilah karena ada prakondisi-pra kondisi yang melingkupinya. Ada latar belakang yang muncul dan timbul sebelum teks itu turun/diwahyukan. Inilah yang sering dilupakan orang, terutama ahli-ahli muffasir yang telah menafsirkan Kitab Suci, maupun sabda Nabi. Positivisme Agama muncul dari sini, nilai-nilai filosofis (yang merupakan nilai universal dan hakekat) suatu teks tereduksi dan terkebiri, karena hanya dipahami secara literal, legal, formal saja. Hanya secara tekstual, tanpa melihat kontekstuallitasnya. Positivisme ini sendiri juga sebenarnya timbul dari proses berpikir deduktif, dari umum ke khusus.
Memang jika dilihat dari sudut pandang pertama dari pendapat Comte, positivisme merupakan metode yang dapat diandalkan dalam mencapai keberhasilan dan kemajuan pembangunan. Tetapi pencapaian itu tidak dapat sempurna tanpa adanya faktor lain yang mengimbanginya. Jika tidak, akan terjadi kehancuran dan kesenjangan yang terjadi pada kemajuan pembangunan tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya kenyataan yang sudah terungkap diatas. Oleh karena itu perlu adanya pembenaran tentang teori ini. karena teori ini tepat jika digunakan pada ilmu pengetahuan alam. Bukan untuk ilmu social dan lainnya. Sehingga jika kita memandang dari penggunaan paham positivisme pada ilmu alam dapat menjadi alasan tentang ke-Esaan Tuhan, tetapi hal ini tidak berlaku pada ilmu social yang sudah diuraikan diatas. Karena akan menimbulkan penyimpangan dan kesenjangan dalam masyarakat dan kemajuan pembangunan.

Kamis, 28 Juli 2011

Kunci Keberkahan Harta

Kekayaan yang Allah berikan kepada manusia merupakan titipan sementara. Sebagian manusia mendapatkan titipan itu dengan jumlah yang besar dan sebagian yang lain mendapatkannya dengan jumlah kecil. Namun, menurut ajaran Islam, keberkahan harta benda itu tidak ditentukan oleh besaran jumlahnya.
Harta kekayaan seseorang akan berkah jika pemiliknya melakukan amalan-amalan sesuai dengan tuntunan Islam. Berikut amalan-amalan yang dimaksud.
Pertama, syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang dikaruniakan kepadanya.
Allah berfirman, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan. Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim [14]: 7).
Kedua, silaturahim. Amalan ini merupakan upaya menyambung tali persaudaraan antar sesama manusia: merajut dan memperkuat ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Muslim) dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama manusia). Praktik ini dapat melapangkan rezeki dari Allah.
Abu Hurairah RA menyampaikan sebuah hadis Nabi SAW yang berkaitan dengan hal ini, “Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung tali kekerabatan (silaturahim).” (HR Bukhari).
Ketiga, menafkahkannya di jalan Allah. Berkembangnya harta dipengaruhi juga oleh faktor di mana ia dibelanjakan. “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan, Allah Mahaluas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 261).
Keempat, senantiasa melakukan kebaikan. Segala kebaikan akan kembali kepada pelakunya. Kebaikan itu akan membuahkan keberkahan dan kebahagiaan. Dalam Alquran, dijelaskan, “Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu.” (QS Al-Isra’ [17]: 7).
Kelima, berzakat dan bersedekah. Zakat dan sedekah akan membersihkari harta seseorang karena di dalamnya terdapat hak orang lain. Allah berfirman, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya, doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At Taubah [9]: 103).
Itulah lima amalan yang akan mendatangkan keberkahan harta kekayaan. Semoga Allah menurunkan keberkahan-Nya dari langit dan bumi melalui harta kekayaan yang kita miliki.

Penulis : Ahmad Soleh
http://mimbarjumat.com/archives/963

Rasa syukur atas pemberian Allah SWT

Penyakit hati seperti sombong, tamak, rakus dan dengki seyogyanya disingkirkan jauh-jauh dari jiwa kita masing-masing, seandainya sifat tersebut kita singkirkan, maka insya Allah kita menjadi hamba Allah yang terhormat dihadapan Allah, Bagaimana caranya untuk menghilangkan sifat-sifat syetan dan iblis itu adalah sebagaimana firman Allah dalam surat Al Ashar ayat 3 yang artinya “kecuall orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati dalam kesabaran“.
Salah satu cara menghilangkan sifat tamak dan rakus dengan cara menanamkan rasa syukur dan menikmati pemberian Allah apa adanya. Sifat dengki dan iri hati bisa kita hindarkan, dengan cara menerima suatu ujian dan musibah, karena segala sesuatu yang terjadi dengan izin oleh Allah SWT.
Oleh karena itu jika terjadi suatu kemewahan, pangkat, jabatan serta harta yang berlimpah kita harus bersyukur dan jika Allah memberikan suatu kesusahan dan kesengsaraan kita harus bersabar. Syukur jika berada di atas dan sabar bila berada di bawah. Mudah-mudahan kita selaku makhluk Allah SWT yang sempurna mampu mensyukuri dan menikmati pemberian dari Allah SWT dan terhindar dari sifat-sifat syetan dan iblis latnatullah.

Sumber : Indah Mulya Edisi No. 496 Th VI - 26 Oktober 2008
http://mimbarjumat.com/archives/189

Sombong dan angkuh adalah penyakit hati

Dalam sifat sombong dan sifat angkuh telah dicontoh oleh iblis latnatullah, ketika Allah SWT memerintahkan untuk bersujud kepada Adam as sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqaroh ayat 34 yang artinya “Dan (ingatlah ) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat : ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali iblls. Ia enggan dan sombong dan adalah ia termasuk golongan orang-orong kafir“.
Kemudian Iblis menanggapi perintah yang Allah sampaikan dengan sikap menyombongkan diri, karena itu iblis dicap oleh Allah sebagai makhluk yang terkutuk. Jika kita sebagai hamba Allah mengikuti jejak iblis maka jadilah kita sebagai makhluk yang terkutuk sama seperti iblis.
Faktor-faktor yang menyebabkan kesombongan adalah kekayaan, kecantikan, kegagahan, keilmuannya, pangkat serta jabatannya. Akibat dari sifat yang dimilikinya ini tidak mau lagi menerima kebenaran dari orang lain serta menganggap enteng terhadap orang lain.
Sifat iblis yang lain adalah sifat rakus dan tamak itu awalnya kata nabi telah ditampilkan oleh Adam as, karena tertipu oleh iblis latnatullah. Iblis menjanjikan kepada Adam as, dalam surat Al A’raaf ayat 20-21, yang artinya “Hai Adam aku ini penasehatmu yang aktif jika kamu terima nasehatku syukur dan tidak kau terima tidak ada masalah, Tahukah kamu mengapa , Allah melarangmu untuk mendekati pohon khuldi ini, lalu iblis mengatakan pohon ini yang mengekalkanmu hai Adam, jika anda dekati pohon itu, maka kamu akan kekal selama-lamanya di surga“.
Ini merupakan tipuan dan rayuan syetan dan iblis latnatullah, dimana Adam as mendekatinya dan makan buah tersebut serta auratnya terbuka, akhirnya Adam pun sadar karena telah ditipu oleh syetan dan iblis latnatullah, maka kemudian Adam as bertaubat kepada Allah “Robbana dzolamnaa anfushanaa wa inlam taghfirlanaa wa tarhamnaa lanakuunanna minalkhosirinna - Ya Allah, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan jika Engkau telah mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi“.
Ada lagi penyakit hati yang merupakan jejak iblis dan syetan selalu mengganggu. Yaitu sifat-sifat dengki ini sudah ditampilkan sejak dahulu oleh anak Adam as yaitu qabil, yang telah membunuh adik kandungnya yang bernama habil, karena apa?, karena sifat dengki kepada adiknya karena Allah menerima qurbannya sedangkan qurban qabil ditolak oleh Allah. Dalam hadits nabi bahwa kesombongan, ketamakan, kerakusan serta kedengkian itu merupakan sifat-sifat syetan dan akan menjadi sumber-sumber dari malapetaka dan sumber maksiat.
Kalau kita perhatikan zaman sekarang ini, kenapa para pengusaha, para pejabat dan para wakil-wakil rakyat tidak mau mendengar nasehat-nasehat yang benar. Karena sifat kesombongannya dan keangkuhannya, mereka menganggap bahwa pendapatnyalah yang benar sementara pernyataan orang lain itu salah, ini merupakan sifat-sifat syetan dan iblis latnatullah.

Sumber : Indah Mulya Edisi No. 496 Th VI - 26 Oktober 2008
http://mimbarjumat.com/archives/189

Menghindari Penyakit Hati

Manusia diberikan 2 jalan ada yang buruk dan ada yang baik, Allah telah berfirman dalam Al Qur’an surat Asy Syams ayat 7-10 yang arfinya “demi jiwa demi diri serta penyempurnaan penciptaannya, lalu Allah itu mengilhamkan jalan ke dalam jiwa itu berbuat kefasikan berbuat kejahatan serta berbuat ketaqwaan, sungguh beruntunglah orang yang selalu mensucikan bathinnya, mensucikan hatinya, mensucikan jiwanya dan sungguh merugilah mereka yang selalu mengotorinya“.
Dari firman Allah tersebut kita mengetahui dalam tubuh ini ada satu unsur yang disebut dengan jiwa atau nafs. Dalam wadah yang disebut jiwa atau nafs itu Allah SWT memberikan 2 (dua) jalan, yaitu jalan untuk berbuat baik ataupun jalan untuk tldak berbuat baik, Apakah jalan untuk melakukan perbuatan positif ataupun untuk perbuatan yang negatif, yang menguntungkan atau merugikan, bergantung kepada manusianya.
Dalam ayat lain Allah berfirman bahwa jika kalian beriman silakan, jika kafir silakan, terbuka jalannya. Mau diapakan wadah ini tergantung pada kita. Bukankah Allah SWT telah memberikan 2 (dua) wadah fujurohaa atau taqwahaa, jalan untuk berbuat kejahatan dan jalan untuk berbuat kebaikan.
Setelah itu Allah mengingatkan kepada kita, qod aflaha man dzakkaha waqadkhaba man dassaha, beruntung orang seandainya wadah itu diisi oleh akhlakul karimah, diisi dengan sifat-sifat yang terpuji. Amat rugilah mereka jika wadah itu dipenuhi dan diisi oleh sifat-sifat kejahatan dan kemudaratan, apakah yang datangnya dari hawa nafsu, syetan, iblis maupun sifat-sifat hewaniah.
Jika merujuk kepada Al qur’an, dan memperhatikan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW serta melihat pada karakter-karakter manusia-manusia yang terdahulu mulai para nabi dan rasul, para sahabat hingga pada zaman sekarang ini banyak, sifat-sifat; penyakit hati yang bersarang dalam jiwa kita. Kita harus waspada kalau kita menyimpan penyakit-penyakit hati, karena apapun yang kita ucapkan apa yang kita lihat dan apa yang kita hasilkan dalam pemikiran, yang berwujud dalam perbuatan sehari-hari adalah tergantung isi hati kita masing-masing.
Kalau hati atau qolbunya bersih, suci dan diisi sifat-sifat yang baik-baik tentu yang terpancar dari penglihatan, pendengaran dan pemikiran dalam tindak tanduk perbuatan kita sehari-hari tentu sesuai isi hati yang baik-baik, tetapi seandainya penglihatan, pendengaran dan pemikiran yang selalu negative, mata kita sulit untuk berpaling dari kemaksiatan. Pendengaran kita sulit untuk berpaling dari pendengaran negative, pikiran kita akan selalu buruk sangka. tingkah laku kita susah diarahkan.

Sumber : Indah Mulya Edisi No. 496 Th VI - 26 Oktober 2008
http://mimbarjumat.com/archives/189

Kaya Untuk Miskin

“Jika kau ingin menemuiku, carilah aku di tengah-tengah orang miskin,” kata Nabi Muhammad SAW. Dan beliau wafat dengan meninggalkan utang gadai baju besi kepada seorang yahudi.
Wasiat Rasulullah itulah yang membuat Shalahuddin Al Ayyubi memilih miskin hingga akhir hayat. Pada 1193, Sang Penakluk Aqsha (1192), meninggal dunia.
Ketika peti harta warisan Shalahuddin dibuka, isinya nyaris kosong. Bahkan sekadar untuk biaya pemakamannya pun tak cukup. Gaji, bagian ghanimah maupun fa’i yang diterima Jendral Shalahuddin semasa hidupnya, habis dibagikan kepada kaum dhuafa.
Demikianlah, Sholahuddin Al Ayyubi adalah Orang Kaya yang Kaya. Seperti dikatakan Rasulullah: Bukanlah orang kaya itu yang banyak harta-benda, tapi sejatinya orang kaya adalah yang kaya jiwanya (HR Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Orang kaya macam Shalahuddin Al Ayyubi “tidak punya waktu” untuk menikmati kekayaan harta-bendanya sendiri. Dia kaya untuk miskin. Kaum dhuafa lah yang menikmati kekayaan beliau.
Sesuai kata Nabi Muhammad SAW, sebaik-baik kekayaan adalah di tangan Muslim yang dermawan. Yakni, kata Abu Ishaq as Sabi’i dalam Kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin, yang memandang keluasan harta benda sebagai penolong agama.
Orang berjiwa kaya seperti Shalahuddin Al Ayyubi, bahkan bisa disebut sebagai “egois” bila tidak berusaha mencari harta sebanyak-banyaknya.
Kok?
Seandainya kita mau memikirkan kepentingan keluarga lainnya, baik keluarga sedarah maupun keluarga seiman yang dhuafa dan membutuhkan bantuan finansial, maka kita tidak akan pernah merasa cukup meskipun penghasilan kita Rp 1 Milyar perbulan!
Penghasilan Rp 5 juta atau 10 juta perbulan, mungkin cukup untuk makan kita dan keluarga, pendidikan anak, cicilan rumah, mobil, zakat/infaq dan sedikit tabungan.
Cukup memang jika kita hanya memikirkan diri dan keluarga kita saja. Tapi kita harus berusaha mendapatkan lebih banyak lagi, karena terlalu banyak umat Islam yang harus dibantu secara finansial. Maka, sebanyak-banyaknya uang harus kita hasilkan, dan sebanyak-banyaknya orang harus menikmati manfaat dari yang kita hasilkan.
Tapi hati-hati, jangan sebaliknya malah menjadi Orang Kaya yang Miskin. Yang sudah diberi kelebihan materi, namun tidak pernah merasa cukup dan selalu merasa kurang. Bagaikan meminum air laut. Itulah yang menyebabkannya miskin.
Memang, setiap manusia berpotensi untuk kemaruk harta. “Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan” (QS Al-Fajr: 20).
Rasulullah SAW pun telah memperingatkan: “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah yang dipenuhi harta kekayaan, dia pasti menginginkan lembah yang ketiga” (HR Tirmidzi dari Ibnu Abbas).
Selanjutnya, kerakusan biasanya berjalin-kelindan dengan kebakhilan. “Dan sungguh dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta” (QS. Al-Adiyat: 8). Dia sewa sepasukan bodyguard untuk melindunginya dari sentuhan kaum dhuafa. Belum cukup setengah lusin satpam yang bertugas 2 shift siang-malam menjaga rumahnya, dia bangun pagar rumah senilai milyaran rupiah.
Kerakusan secara manusiawi bahkan mengikuti laju usianya. Seperti diingatkan Nabi, “Hati orang tua yang telah lanjut usia cenderung pada dua hal, yaitu umur panjang dan banyak harta” (HR Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Orang yang kaya-rakus-bakhil, sejatinya dia orang miskin. Dia dengan segenap kekayaannya tidaklah menakutkan, tapi menyedihkan. Karena sejatinya dia tidak lebih mulia ketimbang binatang. Bahkan lebih nista lagi.
Firman Allah SWT: “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadikan pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat jalannya (dari binatang)” (QS. Al Furqan: 43-44).
Orang Kaya yang Miskin, tidak menyadari bahwa dia diciptakan lebih mulia dari setan. Dia justru takluk pada setan yang “… menakut-nakuti kalian dengan kemiskinan” (QS. Al- Baqarah: 268).

Sumber: Dialog Jum’at Tabloid Republika - 29 Januari 2010
http://mimbarjumat.com/archives/1119