Laman

Kamis, 13 Januari 2011

Tiga Golongan Orang Sholat

Shalat adalah bentuk ketaatan kepada Allah
Allah SWT memberikan konsep ideal kepada umat Islam agar supaya kita ini menjadi muslim dan mukmin yang sejati. Salah satu cara untuk meningkatkan derajat ketaqwaan kita kepada Allah SWT ialah senantiasa istiqomah menjalankan dan menunaikan ibadah sholat 5 waktu dan kemudian memperbanyak sholat-sholat sunnah.
Ibadah sholat merupakan bentuk ketaatan dan penyerahan diri kita sebagai hamba di hadapan Allah SWT. “Inna sholaatii wa nusuki wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi rabbil a’aalamiin - Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku semata hanya untuk Allah seru sekalian alam“. Rasulullah SAW di dalam hadits beliau menjelaskan bahwa sesungguhnya sholat merupakan tiang bangunan dalam agama, beliau menegaskan untuk membedakan mana seorang muslim dan seorang kafir dapat tercermin dalam bentuk perbuatan sholat. Maka jika kita menjumpai seorang yang mengaku muslim tetapi tidak melaksanakan sholat, orang tersebut belum menjadi muslim yang sempurna.
Menurut kualitas dalam menjalankan ibadah sholat, umat islam terbagi menjadi :
Golongan pertama umat Islam yang selalu taat dalam menjalankan ibadah sholat. Umat Islam yang mengerti betul apa syarat dan rukun kemudian menjalankan adab-adab sholat.
Golongan pertama ini termasuk mendapatkan kekhususan dalam melaksanakan sholat. Di dalam Al qur’an surat Al Mu’minuun ayat 1-2 yang artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang khusyu dalam shalatnya“. Kondisi umat Islam yang senantiasa melaksanakan sholat tercapai pada niat melaksanakan sholatnya secara khusus.
Golongan kedua, umat Islam senantiasa melaksanakan sholat namun kurang memperdulikan kesempurnaan sholat, kurang paham dan kurang mengerti tentang rukun dan syarat sahnya sholat. Apabila seseorang masuk dalam golongan kedua ini, ia merasa sempurna dalam melaksanakan sholat terkait dari pada rangkaian yang dimulai dari niat hingga salam, tetapi kurang memperhatikan bagaimana kesempurnaan rukun dan sahnya sholat, ketika dilaksanakan.
Rasulullah SAW telah menegaskan pada kondisi seperti ini beliau menyampaikan “akan datang suatu masa dimana manusia banyak sekali melaksanakan sholat, tetapi tidak dianggap melaksanakan sholat“. Banyak umat Islam mengerjakan sholat, karena pengaruh dari pada kondisi ketika ia belajar sholat disaat masih kecil. Tercermin bahwa tidak ada peningkatan dari pada kualitas kesempurnaan di dalam melaksanakan sholat, artinya pada kondisi yang ketika ini, betul-betul seseorang selalu melaksanakan sholat tetapi tidak pernah mengerti rukun dan maknanya, tidak paham makna yang diucapkan dan rangkaian yang dilakukan dalam ibadah sholat.
Allah SWT telah berfirman surat Al Maa’uun ayat 4-5 yang artinya, “Maka ditempatkan di neraka orang-orang yang selalu melaksanakan sholat tetapi mereka selalu lalai dalam sholat“. Mereka melaksanakan sholat tetapi tidak mengerti apa yang dilakukan dalam pelaksanaan sholatnya.
Faktor dan Penyebab tidak sholat
Berdasarkan kuantitas dalam menjalankan ibadah sholat, secara garis besar dapat digolongkan menjadi :
Golongan pertama, umat Islam selalu melaksanakan ibadah shalat.
Golongan kedua, yaitu umat Islam yang sama sekali tidak pernah melaksanakan ibadah shalat. ia mengakui sebagai seorang muslim tetapi terang-terangan dia tidak pernah melaksanakan sholat, hal ini sama saja dengan ia menanggalkan identitasnya sebagai seorang muslim.
Untuk golongan kedua ini ada beberapa penyebab atau faktor yang menyebabkan seseorang meninggalkan dan tidak melakukan shalat:
1. Orang tersebut salah menyangka dan salah menempatkan tentang shalat, ia meyakinkan bahwa shalat bertujuan untuk berubah seseorang menjadi lebih kaya secara materi. Maka pada akhirnya ketika kekayaan yang sudah dimiliki dan ketika ilmu pengetahuan dia menjadi orang yang hebat dan intelektual, dia meyakini tidak perlu lagi saya melaksanakan shalat, karena saya sudah pintar dan kaya.
2. Orang yang tidak memiliki pengertian yang benar tentang shalat. Penyebab yang kedua ini, dia menyakini bahwa ketika dia tidak mengerti tentang shalat maka dia tidak pernah merasa berdosa jika meninggalkan shalat. Dia hidup dalam keluarga yang tidak dihiasi dengan shalat, padahal Rasulullah SAW mengingatkan kepada kita bahwa “hiasilah dan terangilah rumah kita dengan shalat dan membaca Al qur’an“.
3. Terkalahkan dengan rasa malas yang ada di dalam dirinya. Faktor ketiga ini sebetulnya mengetahui bahwa shalat adalah wajib hukumnya, tetapi karena terbiasa meninggalkan dan mengikuti kemalasannya maka terbiasalah dia meninggalkan shalat dan pada akhirnya sama dia meyakini bahwa saya tidak melakukan shalat tidak apa-apa.
4. Sesorang yang meninggalkan dan tidak pernah mau melaksanakan shalat karena gangguan jiwa, seseorang yang mengalami kesedihan yang sangat mendalam, seseorang yang mengalami kesulitan yang sangat meningkat dan seseorang yang dalam situasi keputusaasaan akhirnya ia meninggalkan shalat, padahal disaat seperti itulah shalat menjadi solusi dan disaat itulah shalat akan mendatangkan ketenangan.
Golongan kedua umat Islam yang masuk dalam kategori dia mengaku umat Islam tetapi tidak pernah mau melakukan shalat.
Golongan yang ketiga adalah umat Islam kadang-kadang shalat dan kadang-kadang tidak. Golongan yang ketiga ini selalu saja membuat seribu macam alasan, karena kondisi pekerjaan yang padat, karena kondisi pada saat pesta dia sengaja meninggalkan shalat, oleh karena itu sebagaian yang masuk dalam kategori ini selalu saja muncul sebuah keyakinan yang buruk, bahwa shalat ketika dia akan bertujuan untuk menginginkan suatu ketentangan, dia bertujuan untuk meraih kesenangan, ketika ia sudah senang, maka ditinggalkanlah shalat, tetapi jika ia diuji dalam kesulitan dari Allah maka ingatlah ia segera untuk melaksanakan shalat dengan seyakin-yakinnya.
Rasulullah SAW memberikan penjelasan bahwa apa yang menyebabkan manusia meninggalkan shalat, seseorang ketika ia sedang meninggalkan shalat maka ada keterkaitan yaitu amaliah tidak diterima oleh Allah SWT, ketika orang dengan sengaja meninggalkan shalat maka amal-amal apapun ditolak oleh Allah SWT.
Shalat merupakan tiang bangunan agama dan sangat mustahil kita membuat bangunan tetapi tanpa tiang. Dalam hadits lainpun Rasul menyampaikan bahwa “yang pertama kali yang dihisab pada hari kiamat adalah amalan shalat, jika amalan shalat ini diterima maka selurah amalan yang lain juga diterima oleh Allah SWT, sebaliknya jika amalan shalat ditolak atau tidak diterima oleh Allah SWT dan amalan yang lain pun ditolak“.
Bersumber dari Nafi, sesungguhnya Umar Ibn Al Khatab ra, mengirim pesan kepada para gubenurnya: “menurutku, urusan kalian yang paling penting ialah shalat. Siapa yang selalu menjaga dan memeliharanya berarti dia telah memelihara agamanya. Dan siapa yang mengabaikannya maka urusan yang lainnya pasti akan lebih dia abaikan“.
Bersumber dari Abul Mulaih, dia berkata : “Aku pernah mendengar Umar Ibn Al Khatab ra, mengatakan di atas mimbar, Tidak ada istilah Islam bagi orang yang tidak shalat“. Maka dalam keadaan dan situasi apapun bahwa kewajiban kita menjalankan perintah Allah SWT, khususnya dalam ibadah shalat, mudah-
mudahan kita ini menjadi hamba-hamba Allah yang senantiasa istiqomah dalam memelihara shalat dan mudah-mudahan senantiasa diterima oleh Allah SWT.

Antara Riba dan Zakat

Secara bahasa ada kemiripan arti dan makna antara riba dan zakat, yaitu sama-sama bertambah. Hanya saja, riba itu tambahan yang bersifat batil. Karena itu, tidak diridai Allah sehingga jika dilakukan akan berakibat kehancuran serta kerusakan hidup (QS. Al-Baqarah [2]: 275 dan QS. Ar-Rum [30]: 39).
Dan jika ada orang, kelompok, atau bangsa tetap saja melaksanakan kegiatan riba, padahal sudah diketahuinya bahwa riba/bunga itu haram, maka dianggap sama dengan menentang atau mengajak berperang dengan Allah SWT.
Perhatikan firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 279, “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya-Nya.”
Sebaliknya, mengeluarkan zakat yang walaupun secara lahiriah kelihatannya akan mengurangi harta, tetapi ternyata justru sebaliknya, akan menyucikan, mengembangkan, dan memberkahkan harta yang dimiliki.
Perhatikan firman-Nya dalam QS. Ar-Rum [30] ayat 39, “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat-gandakan (pahalanya).”
Dan QS At-Taubah [9] ayat 103, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Terlebih lagi, jika sudah mampu mengeluarkan sedekah atau infak, yaitu mengeluarkan harta untuk kebaikan di luar zakat, akan lebih mengembangkan harta yang dimiliki, di samping akan menyucikan hati dan pikiran. Rasululah SAW bersabda, “Tidak akan pernah berkurang harta yang dikeluarkan sedekahnya.” (HR Thabrani)
Sebagai bangsa yang sering menyatakan diri sebagai bangsa yang religius, sudah sepantasnya kita berusaha seoptimal mungkin untuk menjauhkan diri dari sistem ribawi dalam segala bidang kehidupan, terutama kegiatan ekonomi, karena hanya akan melahirkan kerusakan dan kesenjangan.
Sebaliknya, terus-menerus mengoptimalkan pengumpulan dan pendaya-gunaan zakat, yang di samping akan mengembangkan harta, juga akan mampu mengurangi angka kemiskinan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Mari kita renungkan firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] ayat 276, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.”

Pentingnya Tetap Istiqamah dan Taqarrub kepada Allah SWT

Pentingnya Istiqamah
Sejak Baginda Nabi saw. memulai dakwah secara terang-terangan di Makkah, orang-orang kafir mulai memutar otak untuk mencari cara - dari mulai yang paling halus hingga yang paling kasar dan kejam - untuk menggagalkan dakwah Nabi saw.
Mula-mula mereka melontarkan isu bahwa Muhammad saw. adalah orang gila. Lalu beliau juga dituduh sebagai penyihir yang bisa memecah-belah bangsa Arab. Tujuannya, agar orang-orang Arab tidak mendekati, apalagi mendengarkan kata-kata Muhammad. Itulah ujian yang pertama dan paling ringan yang dialami Baginda Rasulullah saw.
Tatkala Quraisy melihat bahwa Muhammad tidak berpaling sedikitpun dari jalan dakwah, mereka lalu berpikir keras untuk membenamkan dakwah Muhammad saw. dengan berbagai cara yang lebih keras.
Secara ringkas ada empat cara yang mereka lakukan: mengolok-olok, mendustakan dan melecehkan Rasul, membangkitkan keragu-raguan terhadap ajaran Rasul dan melancarkan propaganda dusta, menentang al-Quran dan mendorong manusia untuk menyibukkan diri menentang al-Quran, menyodorkan beberapa bentuk penawaran agar Rasul mau berkompromi, yang tujuan akhirnya adalah menyimpangkan bahkan menghentikan dakwah beliau.
Akan tetapi, semua cara ini pun gagal. Namun, kaum Kafir tidak mengendorkan kesungguhan untuk memerangi Islam serta menyiksa Rasul-Nya dan orang-orang yang masuk lslam. Fitnah dan ujian juga dilakukan terhadap Baginda Nabi saw. oleh Abu Lahab dan istrinya, Abu Jahal dan istrinya, Uqbah bin Abi Mu’ith, Adi bin Hatnra’ ats-Tsaqafi dan Ibn al-Ahda’ al-Huzali.
Salah seorang dan mereka pernah melempar Nabi saw. dengan isi perut domba yang baru disembelih saat beliau sedang shalat. Uqbah bin Abi Mu’ith bahkan pernah meludahi wajah Nabi saw. Utaibah bin Abi Lahab pernah menyerang Nabi saw. Uqbah bin Abi Mu’ith pernah menginjak pundak beliau yang mulia. Semua itu dialami Baginda Rasulullah saw., betapapun mulianya kedudukan dan kepribadian beliau di tengah-tengah masyarakat.
Karena itu, wajar jika para Sahabat beliau, apalagi orang-orang lemah di antara mereka, juga mendapat banyak gangguan atau siksaan, yang tak kalah kejam dan mengerikan. Paman Utsman bin Affan, misalnya, pernah diselubungi tikar dari daun kurma dan diasapi dari bawahnya.
Ketika Ibu Mushab bin Umair mengetahui bahwa anaknya masuk Islam, ia tidak memberi makan anaknya dan mengusirnya dari rumah - padahal ia sebelumnya termasuk orang yang paling enak hidupnya - sampai kulit Mushab mengelupas.
Bilal bin Rabbah juga pernah disiksa secara kejam oleh Umayah bin Khalaf al-Jamhi. Lehernya diikat, lalu ia diserahkan kepada anak-anak untuk dibawa berkeliling mengelilingi sebuah bukit di Makkah. Bilal juga dipaksa untuk duduk di bawah terik matahari dalam kelaparan, kemudian sebuah batu besar di diletakkan dadanya.
Hal yang sama menimpa keluarga Yasir ra, bahkan lebih tragis. Abu JaM! menyeret me reka ke tengah padang pasir yang panas membara dan menyiksa mereka dengan kejam. Yasir ra. meninggal dunia ketika disiksa. Istrinya, Sumayyah (ibu ‘Ammar), juga menjadi syahidah setelah Abu Jahal menancapkan tombak di duburnya. Siksaan terhadap Am mar bin Yasir juga semakin keras.
Meski mengalami semua makar dan kekejaman yang dilakukan orang-orang Kafir, Rasulullah saw. dan para Sahabat beliau tetap berpegang teguh pada Islam, tetap bersabar dan tetap istiqamah di jalan dakwah hanya karena satu alasan: mengharap ridha Allah SWT.
Karena itu, jika hari ini para pengemban dakwah, khususnya di Tanah Air, sedang diuji dengan fitnah terorisme - dituduh mengancam negara, diawasi bahkan diperangi atas nama perang melawan terorisme - maka hal itu sebenarnya barulah mengalami hal yang paling ringan dari apa yang pernah dialami Baginda Nabi saw saat pertama kali.
Artinya, jika pun ujian dakwah yang mereka alami jauh lebih sadis dari sekadar fitnah/tuduhan palsu, maka tak usah khawatir. Sebab, Nabi saw. dan para Sahabat pun - yang notabene para wali Allah sekaligus kekasih-Nya - pernah mengalaminya.
Karena itu, istiqamah di jalan dakwah adalah hal yang sebetulnya wajar-wajar saja bagi para pendakwah. Bahkan hanya dengan tetap istiqamahlah segala permusuhan orang-orang kafir terhadap para pengemban dakwah - yang notabene adalah para wali (kekasih) Allah - akan bisa dikalahkan.
Sebab, Allah SWT telah berfirman di dalam sebuah hadis qudsi, bahwa Dia sendirilah yang akan memerangi orang-orang yang memerangi para wali (kekasih)-Nya: “Siapa saja yang memusuhi wali (kekasih)-Ku maka Aku memaklumkan perang terhadapnya ” (HR al-Bukhari).
Jika Allah SWT telah memaklumkan perang, maka siapapun yang menjadi sasa-rannya pasti akan dikalahkan. Lebih dari itu, jika kaum Muslim dan para pengemban dakwah tetap istiqamah di jalan-Nya, maka segala makar orang-orang kafir dan antek-anteknya juga pasti gagal, dan kemenangan dakwah pasti dapat segera terwujud.
Sebab, makar orang-orang kafir dan para pendukung kekufuran terhadap kaum Muslim pasti akan dibalas oleh Allah sendiri. Allah SWT berfirman: “Orang-orang kafir itu membuat makar/tipudaya dan Allah membalas makar/ tipudaya mereka itu. Allah adalah sebaik-baik Pembalas tipudaya ” (QS Ali Imran [3]: 54).
Pentingnya Taqarrub ila Allah
Selain tetap istiqamah, setiap Muslim, khususnya para pengemban dakwah, seyogyanya terus berupaya mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Dalam lanjutan hadis qudsi di atas, Allah SWT berfirman: “Tidaklah hamba-Ku bertaqarrub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai paripada apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku terus-menerus bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan-amalan nafilah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar; menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat; menjadi tangannya yang dengannya ia memegang; menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, pastiAku beri. Jika ia meminta perlindungan-Ku, pasti Aku lindungi ” (HR al-Bukhari).
Dari hadis di atas, jelaslah bahwa secara tersurat, kunci bagi setiap Muslim, khususnya para pengemban dakwah, agar senantiasa permohonannya dikabulkan, juga agar senantiasa mendapatkan perlindungan Allah SWT, adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya.
Hanya saja, pengertian taqarrub ini tidak boleh dipersempit hanya dalam tataran ritual atau spiritual semata; apalagi sekadar menjalankan yang sunnah-sunnah saja, sementara banyak kewajiban lainnya yang ditinggalkan.
Sebab, makna syar’i dari taqarrub ila Allah adalah melaksanakan ketaatan kepada Allah dengan menjalankan kewajiban-kewajiban yang telah Allah tetapkan. Bahkan taqarrub dengan menjalankan seluruh kewajiban adalah lebih Allah sukai, apalagi jika ditambah dengan terus-menerus menjalankan hal-hal yang sunnah.
Imam Ibnu Rajab Al-Hambali juga menerangkan, “Termasuk kewajiban yang merupakan taqarrub ila Allah adalah mewujudkan keadilan, baik keadilan secara umum sebagaimana kewajiban seorang penguasa atas rakyatnya, maupun keadilan secara Khusus sebagaimana kewajiban seorang kepala keluarga kepada istri dan anaknya.”
Lebih dari itu, saat seorang Muslim bertaqarrub kepada Allah maka dia pasti akan dicintai Allah. Orang yang dicintai Allah akan mendapatkan berbagai balasan yang baik dari Allah, semisal keridhaan dan rahmat Allah; limpahan rezeki-Nya, taufik-Nya, pertolongan-Nya, dan sebagainya.
Walhasil, pada bulan Ramadhan yang mulia ini, marilah kita semua bertaqarrub kepada Allah SWT dengan makna yang seluas-luasnya, sebagaimana terpapar di atas. Dengan semua itu, mudah-mudahan Allah SWT segera memberikan pertolongan-Nya kepada kita.